Aku rasa hari ini masih sama seperti kemarin, aku pikir memang begitu. Tapi nyatanya, aku tertidur sudah terlalu lama. Meninggalkan banyak moment manis saat bersama Hardi. Itu yang Bi Rahma katakan saat aku terbangun dua jam lalu seingatku.Kali ini aku kembali menatap langit kosong berwarna putih di atas sana. Benar-benar membosankan rasanya. Bahkan saat aku ingin menggerakkan sebelah tanganku, bukan hanya kebas, melainkan begitu lemas seakan tak bertenaga. Aku ingat terakhir aku tertidur sekitar tiga atau empat hari yang lalu, sebelum akhirnya samar-samar suara Hardi kembali membuatku tersadar akan satu hal.
'Aku masih bernapas' iya itu yang Hardi katakan. Aku ingat, setidaknya aku tidak benar-benar tertidur dan tak bernapas lagi. Aku senang, walau bagaimanapun Hardi begitu kesal sejak tadi. Aku meliriknya sebentar, kemudian tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku akhirnya.
Aku tahu adikku itu tidak akan tahan menyimpan rasa kesalnya sendirian. Dia akan membaginya walau tak banyak. Dia juga akan bercerita panjang lebar setelahnya.
"Gue tadi pulang dulu ke rumah, terus ketemu sama Ibu. Dia diem aja, Mas. Kayak nggak punya beban banget," katanya.
Sambil memotong buah yang telah dikupasnya, Hardi bercerita dengan bibir mengerucut sama seperti bebek. Aku terkekeh, belum lagi rambut yang tak tertata rapi membuatnya seperti anak nakal habis berkelahi.
"Lalu apa yang buat kamu kesal? Ibu tidak memarahimu, kan?" Hardi menggeleng, "Lalu?" tanyaku.
Aku tak tahu apa yang Hardi pikirkan, pergerakkannya terhenti kemudian menatap ke arahku cukup lama.
"Ada apa? Kenapa matamu merah begitu? Memang Ibu bicara apa?"
"Kenapa lo pengin tahu banget, Mas? Padahal, sejak lo balik lagi ke sini, sedetik pun Ibu nggak pernah datang. Apa yang lo harap dari Ibu?"
"Tidak ada yang bisa diharapkan, tapi bagaimana kalau aku memang ingin melihat Ibu hari ini? Anggap saja untuk perpisahan, apa bisa? Wajahku sudah terlalu kaku, begitu juga dengan tubuhku."
Aku membuang muka, menatap ke arah sudut kosong yang ada di dalam kamar rawatku. Aku kembali pada penjara pesakitan yang selama beberapa bulan terakhir menjadi pusat wisata paling nyaman selain di rumah.
"Kalau lo tahu, kenapa harus sekeras ini, Mas? Kenapa?"
"Karena aku tahu, selain menyedihkan, diriku tak ada artinya di mata Ibu."
"Ibu, Ibu, Ibu. Isi kepala lo seberisik itu? Sampai isinya hanya Ibu."
"Mau bagaimanapun aku menghapusnya, Ibu adalah wanita yang baik. Kalau tidak ada Ibu, mana mungkin hari ini aku ada. Wujudku hanya sebagian dari sperma yang berkembang menjadi janin, lalu diberi bernyawa itu semua karena Ibu."
"Mas."
Aku menggeleng pelan. Aku tahu Hardi sudah kesal, terlihat dari ujung matamu walau samar aku bisa merasakannya. Dia mana bisa tahan kalau aku sudah berkomentar banyak tentang Ibu. Aku pun memutuskan memejamkan mata, membiarkan Hardi pergi dengan sendirinya.
Dalam diriku selalu teringat Ibu dan Ayah. Tapi di satu sisi, hatiku selalu sakit bila mengingat sedikit apa yang Ibu perbuat pada Ayah dulu. Ingatan masa kecil yang sulit dilupakan, mungkin aku trauma? Kalau memang demikian, aku tetap tidak bisa membenci Ibu.
"Hardi marah lagi padamu? Ada apa?"
Aku tersentak, lalu membuka mata dan menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit. Sosok yang selalu membuat Hardi tenang dan tentu aku berterima kasih akan hal itu. Ayah tiri yang mampu memberikan apa pun untukku dan Hardi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Lysme (SELESAI)√
Teen FictionLyam Mahardika, begitu lengkap dan indah ketika terpampang jelas di sebuah papan nama rumah sakit. Aku tahu ini tak adil, apalagi untuk seorang Rahardiaka Mahesa. Saudaraku yang selisih dua tahun denganku. Bagi mereka aku lemah, bagi mereka aku...