02. Ritme

166 19 50
                                    

"Kamu bukan anak saya!"

Suara Ibu melengking begitu tajam menusuk pendengaranku. Jujur, hatiku terasa patah saat itu juga. Bagaimana bisa Ibu mengatakan hal menyakitkan pada anaknya sendiri? Ini kali kedua Ibu menyemburkan amarahnya di depanku. Bahkan, saat Hardi belum benar-benar pergi ke sekolah, Ibu masih berdiri di tempatnya dengan tatapan getir.

Aku tersetrum dalam diam, Ibu seperti menyengatku dengan serangan listrik yang tiba-tiba. Aku mengerjap berkali-kali saat Ibu mulai mendekat ke arahku. Hangat tamparan Ibu membuatku tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Makasih banyak Bu, hari ini pelajaran pertama kesopanan telah aku terima. Ada lagi yang ingin Ibu katakan padaku?" 

Apa aku terlihat kaku? Ya! Memang! Siapa yang bilang kalau aku adalah Hardi yang pecicilan? Tidak ada sama sekali!

Aku bisa melihat wajah ibuku yang mulai merah padam, siap untuk mendaratkan tangannya lagi ke pipiku. Aku melangkah sedikit ke belakang. Aku tahu ini tidak seharusnya terjadi, tapi apa aku salah? Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku sampaikan, itu saja.

"Why you make me angry everytime, Ardi?"

Aku meremat ujung baju yang aku kenakan, lalu menatap Ibu yang kini memilih duduk di kursi meja makan.

"I can't see that, Mom. Maaf Ardi nggak seharusnya bilang kayak gitu ke Ibu."

"Sudahlah, hari ini saya malas berdebat denganmu. Duduk dan sarapan, hari ini Saya ada meeting dengan kolega penting. Kebutuhanmu minta saja ke Rahma, saya sudah memberitahu semua kebutuhan kalian. Ingat, jangan lakukan hal aneh-aneh, apalagi dengan putraku, paham?"

Aku mengangguk, lalu duduk di kursi yang bersebrangan dengan tempat duduk Ibu. Aku sangat kesal, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku benci pada Hardi, aku juga tidak suka dengan sikap Ibu yang selalu memanjakan Hardi. Padahal Hardi masih punya Ayah yang bisa memanjakannya, Hardi bisa tinggal bersama Ayah, jika dia mau.

"Bu..."

Aku tersentak saat Ibu menatap tajam ke arahku, padahal aku belum mengatakan apa-apa.

"Habiskan sarapanmu, saya sudah ditunggu di kantor."

Aku tak tahu harus menjawab apa, rasanya sakit bahkan jauh lebih sakit dari pada tergores pisau. Dengan tergesa Ibu berjalan menuju kamarnya, tak lama setelahnya, beliau sudah keluar dari sana dengan tas selempang kesayangannya.

Sejak Ayah memutuskan pergi, Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Beruntungnya, Ibu memiliki perusahaan sendiri, tidak khawatir kekurangan sebenarnya. Hanya saja, semenjak kejadian itu, Ibu jarang pulang, Ibu akan menginap di kantor dengan fasilitas ruangan khusus di ruangannya. Aku pernah datang ke sana bersama Hardi, tapi tatap Ibu benar-benar tak suka padaku.

"Ardi sakit Bu, apa Ibu nggak mau lihat Ardi sebentar aja?"  Gumamku, di tengah hening ruangan hanya ada aku sendiri dengan suara gemericik air mengalir dari wastafel cuci piring.

Aku terus menatap langkah Ibu yang melewati pintu utama. Meski terlihat santai dengan kemeja berwarna putih juga celana bahan hitam, Ibu tetap cantik walau belum dandan. Bahkan rambut yang semula di cepol kini sudah terurai manis dengan panjang sebatas bahu.

"Mas Ardi?" Panggilan Bi Rahma mengalihkan pandanganku. Aku tersenyum saat Bi Rahma mengusap punggungku dengan lembut. Aku tak tahu rasanya begitu sakit melihat Ibuku yang terkesan pilih kasih, terkadang aku selalu berpikir apa benar aku bukan anaknya? Ah, rasanya mustahil, karena aku yakin setiap kali aku melihat kartu keluarga di sana tertera kalau aku anak kandung dari Ibu dan Ayah.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang