08. Pelan-pelan, Mas.

44 3 0
                                    

Sudah hampir dua pekan Hardi tidak kembali ke rumah, kabar yang begitu mendadak dari Ayah Diaz seketika membuatku hilang kendali, beberapa kali aku kesal dengan semua hal yang kutemui, bahkan sempat membuat Bu Rahma sedih saat memelukku.

Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi, karena semuanya benar-benar terjadi begitu saja, mengendalikan diri yang begitu sensitif nyatanya membuat orang lain hampir terluka. Hardi menghubungiku kemarin malam, mengingat suaranya yang serak dan beberapa kali terbatuk, malah membuat hatiku yang terluka.

Teriak Ibu dari sebrang sana sudah membuatku yakin, kalau Hardi sedang berbohong selama beberapa hari terakhir saat kami bertemu. Dia justru mengajakku makan malam di luar padahal, dia tahu kalau cuaca saat itu sedang tidak baik. Aku juga tidak ingin membuat Ibu marah karena aku yang terlalu merepotkan Hardi, sampai anak itu rela tidak masuk sekolah karena ulahku.

Iya, Bu Rahma yang selalu menemaniku kontrol selama Hardi menginap di rumah Ayah bersama dengan Ibu. Ibu sendiri sebenarnya belum benar-benar bercerai dengan Ayah Diaz. Beliau hanya tidak tinggal serumah selama ini. Kabar yang membuatku terluka adalah, saat Hardi mengatakan kalau Ibu dan Ayah sebenarnya sudah kembali rujuk, tetapi Ibu tidak mengabariku sama sekali.

Aku yang hidup dalam rasa bersalah, justru mereka yang diam-diam membuat semuanya baik-baik saja. Aku benar-benar kecewa saat mengetahui itu, tetapi Hardi selalu bilang dan meyakinkanku tentang sebuah hubungan meski tak sedarah. Bocah itu sedikit gila kalau sudah bicara memang. Akan banyak hal yang nantinya dia lontarkan jika aku diam.

Namun, sejak pagi tadi, Hardi belum menghubungiku, padahal aku ingin memberitahunya tentang kesehatanku yang setidaknya sudah cukup baik. Memang begitu samar ketika mendengar orang lain bicara, setidaknya itu jauh lebih menyenangkan dan tidak terlalu kaku seperti sebelumnya.

"Lyam, apa saya boleh masuk?" Aku menoleh, ketika pintu kamarku terbuka sedikit lebar.

Di sana terlihat seorang pria yang melangkah mendekat ke arahku setelah aku mengangguk sebagai jawaban. Samar-samar wajahnya membuatku kelimpungan mencari kacamata yang tiba-tiba aku lupa meletakkannya di mana. Meraba sisi tempat kosong di sebelahku akhirnya aku langsung mengenakannya dan berkedip beberapa kali mencoba untuk melihat sedikit lebih jelas.

"Ayah, tumben Ayah ke sini?" tanyaku.

Ayah Diaz sudah mengambil tempat duduk di sisi kananku, lalu mengusap lenganku begitu lembut. Sambil tersenyum beliau menunduk sejenak.

"Ada apa, Yah? Apa Ibu baik-baik saja?" tanyaku.

Ayah Diaz mengangguk, lalu mendongak menatap lekat ke arahku, sebelah tangannya yang lain mengusap wajahku begitu pelan. Aku bisa merasakan sentuh hangat yang selalu aku rindu sejak lama. Apalagi sejak kepergian Ayah Chairil aku merasa duniaku benar-benar kosong, lalu Hardi datang dan membawa  kekosongan itu pergi dan dikembalikan setelah semuanya terisi dengan bahagia yang dia tumpahkan di dalamnya.

"Ayah minta maaf, Yam. Ayah sudah berbohong selama ini sama kamu."

"Bohong?"

"Ayah tahu kamu sangat merindukan Hardi, kan?"

Aku— iya, aku memang merindukan Hardi, tetapi apa yang ingin Ayah Diaz katakan? Bahkan raut wajah yang begitu sedih sangat jelas dari tatapan sendu yang Ayah coba tutupi. Sementara aku masih belum mengerti apa yang Ayah maksud.

Beberapa hari lalu aku memang menghubungi Hardi, tetapi tidak ada apa-apa saat dia menjawab terleponku, hanya suara serak yang memang dia sedang kurang sehat, katanya. Aku ingat betul dan aku kembali mengatakan hal yang sama harusnya pada Ayah Diaz, kan? Namun, apa yang aku lihat saat ini, sungguh berbeda dari apa yang ingin aku lontarkan.

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang