17. Lukanya Tak Terlihat (Spesial Pov)

20 1 0
                                    

Sudah sering kali Hardi meminta Ardi untuk pergi ke rumah sakit bersama dengan Diaz. Pria setengah baya itu mulai mengkhawatirkan kesehatan anak sambungnya yang semakin hari, semakin kurus. Beberapa jejak kemerahan di lengan dan pipi membuat pria itu meringis setiap kali matanya menatap ke arah Ardi.

"Saya baik-baik saja, jangan khawatir dan menatap saya seperti itu."

Hanya itu kata yang Ardi lontarkan setiap kali Diaz memandangnya dengan penuh kasih. Tak banyak bicara memang, tapi Diaz begitu paham tentang perasaan Ardi yang selama ini dipendam cowok itu sendirian.

Tak ada yang tahu beberapa hari setelah Margaret datang ke rumah sakit, Diaz diam-diam menemui Denda, Dokter yang menangani Ardi. Selama mengobrol, tak banyak pertanyaan, hanya menyimak dengan perasaan sesak setiap kali kalimat-kalimat jahat keluar dari mulut Dokter Denda.

"Sejauh ini, Ardi mampu bertahan dalam kondisinya yang kian menurun. Jarak pandang yang sudah mulai kabur mengharuskannya menggunakan kacamata sebagai pengganti lensa, dari pada softlens yang pasti cukup berisiko dalam kasus seperti Ardi."

"Anak saya masih bisa disembuhkan, bukan?"

Raut wajah Dokter Denda tentu membuat Diaz mengerutkan keningnya, ia yakin tak ada yang baik-baik saja, setelahnya nanti.

"Saya tidak akan memberi harapan pada anda, tapi saya mohon untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan sekitar, penyakit ini cukup langka, karena penderitanya memiliki gejala umum yang sama dengan orang sakit biasa."

Cukup sampai di sana, setelahnya Diaz hanya bisa menelan ludah juga menahan sesak setiap kali istrinya bersumpah tanpa ragu menolak kehadiran Ardi. Entah mengapa, Diaz merasa seperti orang bodoh padahal Ardi kelas-kelas membutuhkan dukungannya.

Hingga, saat Ardi masuk rumah sakit, istrinya sama sekali menolak bertemu, wanita itu memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tiada henti, membiarkan tubuhnya lelah karena bekerja. Padahal, yang Diaz tahu sejak ia mengenalkan dirinya pada Ardi, anak laki-laki itu sangat manis, mandiri juga dewasa.

Diaz menikahi ibunya karena Diaz pikir, Ardi butuh sosok ayah di usianya yang masih balita, tetapi pikiran itu beralih seiring berjalannya waktu. Semua yang Diaz pikir selama bertahun-tahun ternyata tak seperti yang dialaminya. Margaret tetap sosok wanita egois dengan cerdiknya ia menyembunyikan amarah begitu besar setiap kali melihat Ardi.

"Aku pikir kita menikah akan hidup bahagia, ternyata aku salah. Kamu terlalu egois, Mas."

Diaz menggeleng setiap kali mengingat ucapan istrinya saat marah. Kata-kata kasar yang tak pernah Diaz terima baik dari ibu kandungnya sendiri. Rasa sesal selalu datang setiap Diaz diam-diam mengintip ke kamar Ardi, setelah ia memastikan Hardi, pasti ia akan melakukannya pada Ardi. Membiarkan anak itu menyiapkan keperluan sekolahnya dibantu Bi Rahma. Asisten rumah tangga yang setia selalu di samping Ardi.

"Bapak kenapa di sini?"

"Saya mau lihat Ardi sebentar."

"Kenapa tidak masuk saja, Pak?"

Diaz menggeleng, pria itu seolah menjaga jarak dengan Ardi karena tahu anak sambungnya pasti menolak untuk dekat. Bahkan, ketika tahu kalau ibunya menikah lagi pun sampai detik ini Ardi masih enggan untuk memanggilnya 'ayah'.

Diaz bingung kala anak sambungnya jatuh sakit, ia tak tahu harus bagaimana, sampai pada waktu yang bersamaan istrinya meminta untuk berpisah walau sebenarnya Diaz tak ingin ada perpisahan. Tetapi, keinginan itu ditolak mentah-mentah saat Hardi menangis tersedu-sedu sambil memeluk Diaz ketika wajah kesal Margaret nampak jelas di depan matanya.

"Ibu nggak boleh usir Ayah, Bu."

"Kembali ke kamar, Hardi."

"Enggak. Aku nggak mau."

Hello Lysme  (SELESAI)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang