SPL • Menari Di Bawah Hujan •

1.7K 287 18
                                    

SPL • Menari Di Bawah Hujan •




#sobat, seperti yang sudah aku janjikan malam ini aku akan boom chapter ❤️

[•]

Setiap kali pemuda itu membuka mata, ia selalu mengingat banyak hal tentang seseorang yang begitu ia cintai. Setiap kali ia melangkah, dia selalu membayangkan dirinya berada di sampingnya. Dan selalu seperti itu setiap harinya.

Setiap detik, setiap menit, setiap hari, setiap jam, semua ia lalui dengan bayang-bayang rindu. Dia ingin mengatakan pada dirinya sendiri untuk melupakannya namun tidak bisa. Karena dia sudah tertanam jauh dihati.

Kenangan itu masih hidup di tempat ini. Dia kalah karena telah memilih pergi dan membiarkannya pergi. Pemuda bersurai side part hitam kecokelatan itu menatap langit kelam bertabur bintang di atas menara Namsan. Berjam-jam sendirian dengan hati yang berkata-kata ribuan kali mengapa dia tidak bisa melupakan semuanya? Mengapa dia tak bisa menghilangkannya dari hidupnya?

“Aku seperti orang bodoh yang merindukanmu sekarang. Aku sedih karena diriku sendiri yang memintamu untuk pergi. Dan kini, aku menunggumu dengan semua keegoisan yang muncul dalam benakku. Berharap kau muncul di depan mataku dan menghapus rasa rinduku.”

Ia memejamkan mata dengan tangan yang terkepal. Berusaha untuk menenangkan hatinya yang bergejolak marah karena terlalu merindukan sosok itu. Ia selalu memikirkannya bukan hanya di saat seperti ini. Tapi setiap saat.

“Aku merindukan matamu yang selalu memandangiku. Aku merindukan setiap isyarat dari wajahmu untuk aku terus menetap di sisimu. Namun, aku telah menghancurkan itu semua.”

Ia mengembuskan nafas pelan terbawa angin. Ia berbalik, dan dunia seakan terhenti. Pemuda itu mencoba untuk kembali ke dunia nyata dan sadar bahwa sosok yang ia rindukan tidak ada di sini. Namun, apa yang ia lihat saat ini membuat jantungnya berdegup begitu keras dengan udara malam yang seakan menggelitik.

Pemuda dengan gaya rambut side part  klasik berwarna hitam kecokelatan itu termangu. Air matanya merebak dengan degupan jantung yang terasa lemah. Ia terduduk dengan hati yang luka dan tangisan sesak. “Maafkan aku ... maafkan aku ...” dia terus berkata dengan nada yang lirih. Bahunya berguncang. Tangisannya pecah di bawah langit malam bertabur bintang.

Sementara, pemuda yang langkahnya terhenti itu masih tetap kuat berdiri di tempatnya. Pemuda dengan gaya rambut lurus terpotong rata dengan tambahan layer bergaya medium bowl cut itu, menangis tergugu. Dia memalingkan wajahnya dari sosok yang berjarak 10 langkah darinya. Dia menahan sesak dan luka yang seakan mengguar lembaran cerita yang terasa menyakitkan.

Pemuda itu tak dapat mengatakan satu kata pun setelah sekian lama luka yang ia bawa seakan meledak di dadanya. Ia sesak. Ingatannya berputar pada kisah lama.

Dulu, pemuda mungil itu menganggap pertemuannya dengan seorang pemuda yang memiliki mood  naik turun adalah takdir indah yang akan memenuhi hatinya. Mengisi kekosongan dalam ruang hati, dan menerangi kegelapan jiwa.

Setiap kali dia melihat pemuda itu tersenyum, jantungnya berdegup kencang. Setiap kali dia melihat pemuda itu tertawa, hatinya langsung gemetar tak karuan. Setiap kali dia memandang matanya yang penuh pesona itu mencerahkan hatinya.

Dia selalu menganggap pemuda itu euforia yang begitu menyejukkan rasa. Namun ... semua telah berubah. Saat pertama kali dia melihat pemuda itu dengan bibir yang bergetar. Dia mencoba bertanya, namun itu selalu diabaikan. Membuatnya perlahan mundur, dengan perasaan yang hancur berkeping-keping.

Sementara si pelaku yang telah melukai hatinya pergi tanpa memberi alasan. Sama sekali tidak mencoba bertahan untuk waktu yang lama. Seolah-olah dirinya tidak berharga di hidupnya.

Dia menangis sesak. Dia berjalan mendekati pemuda yang telah melukai hatinya setelah sekian lama keduanya menahan rindu. Dia jatuh terduduk dengan dahi yang menyentuh bahu pemuda berparas tampan ini. Dia menangis sesak. Memukul kesal dadanya  yang tak memberikan reaksi apa pun. Pemuda itu sadar diri bahwa ini salahnya. Dia telah menghancurkan hati orang yang paling dia cintai.

“Mengapa kau tinggalkan aku ...?!”

[•2•]

Huang Renjun, dia tersenyum manis mendekati rintik hujan pertama yang perlahan turun memandikan bumi. Tangannya terulur menyentuh bulir hujan dengan mata yang perlahan terpejam merasakan aroma tanah membawa ketenangan. Dia menyukai hujan.

Na Jaemin, dia dari kejauhan menatap Renjun yang sedang memejamkan mata. “Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu, sarangahae Injoonie ....”

Jaemin kini yakin bahwa ia telah jatuh cinta pada Renjun bahkan, sebelum mereka berdua bertemu, Jaemin sudah menyukai Renjun melalui siaran radio malam yang selalu dibawakan oleh Renjun.

Jaemin melangkah mendekati Renjun. Ia berdiri di samping Renjun yang masih memejamkan mata, merasakan setiap tetes air hujan kini membasahi wajahnya.

“Kau akan sakit jika berlama-lama di bawah hujan, Renjun.” Jaemin menghalau air hujan dengan melepas kemejanya menutupi wajah Renjun.

Dia membiarkan tubuhnya terkena siraman hujan dengan posisi kini berdiri di hadapan Renjun.

Renjun membuka matanya perlahan, sorot cokelatnya bertemu sorot kelam Jaemin yang menenangkan. Jantung Renjun berdetak, dia memandang Renjun dengan penuh pesona. “Aku suka hujan, Jaemin. Hujan tidak akan membuatku sakit karena hujan akan selalu memberikan kebaikan untuk dunia, kau tahu?” Renjun bicara dengan wajah mendongak, karena tingginya dan tinggi Jaemin benar-benar tidak seimbang. Jaemin memilik postur lebih tinggi darinya dan dia terlihat tampan tidak seperti Renjun yang sering dikatakan seperti wanita yang manis.

Jaemin tersenyum manis untuk pertama kali. Dia semakin mendekatkan tubuhnya pada Renjun sehingga kini ujung sepatu mereka bersentuhan. “Jika kau suka hujan ...” dia sedikit membungkukkan tubuhnya, berbisik pada Renjun dengan embusan nafas lembut seakan menyentuh leher Renjun.

Renjun menegang seketika. Pipinya merona merah dengan kedua tangan terkepal menahan degupan yang terus membentur di rongga hati. “Ayo kita hujan-hujanan!” Jaemin menarik Renjun begitu saja. Membuat tubuh Renjun tersentak mengikuti langkah Jaemin.

Keduanya kini sudah basah kuyup di bawah siraman hujan pertama di taman asrama dengan tertawa lepas.

Jaemin menarik pinggang Renjun dalam dekapannya lalu mengayunkan tubuh Renjun dengan tawa yang tidak surut.

Zhong Chenle, dia menatap romantis kedua hyung-nya  dari jendela kamar dengan tangan bertumpu pada pinggiran jendela dan telapak tangan menangkup pipinya sendiri. “Jisung-i, mengapa kita tidak seperti mereka?” keluh Chenle, melirik Jisung yang sedang bermain game.

Dia cemberut karena Jisung, pemuda bertumbuh tinggi dengan wajah yang mungil dan mata yang begitu sipit itu masih mendiaminya sejak kejadian di ruang kesehatan. “Ya, Jisung-i, jika kau terus diam padaku, aku akan—“

“Chenle bisakah kau diam? Aku sedang bermain game!” protes Jisung akhirnya mau kembali bicara. Pada Chenle.

[•2•]

Lee Jeno, dia menarik tangan Haechan dengan sedikit memaksa. “Aku tidak tahu salahku di mana Haechannie, tapi bisakah kau bersikap biasa saja padaku?” Jeno menatap Haechan dengan kesal. Dia kesal karena beberapa hari terakhir ini Haechan selalu menghindarinya.

Jeno juga tidak tahu mengapa dia begitu benci akan hal ini. Dia tidak suka Haechan yang selalu mengganggunya tiba-tiba menghindarinya begitu saja.

Haechan menepis lengan Jeno yang menggenggam erat tangannya dan itu terasa sakit. “Maksudmu apa, aku tidak mengerti Jeno-ya, aku—“

“Mengapa beberapa terakhir ini kamu terus menghindariku? Apa aku ada salah padamu?!” Jeno berteriak kesal. Pemuda yang selalu terkenal dengan pembawaannya yang tenang menatap Haechan dalam.

Haechan tersentak kaget. Dia mendorong sedikit jarak di antaranya dan Jeno. “Aku tidak merasa kau punya salah padaku hanya saja ... aku sudah tidak ingin berurusan denganmu. Berada di dekatmu membuatku selalu kehilangan akal.”

Jeno menatap Haechan tidak mengerti. Dia berusaha mendekati Haechan namun, Haechan segera menghindarinya. Dia tidak berani menatap sorot kelam Jeno yang seakan dapat menawarkan madu beracun. “Aku harus pergi Jeno-ya, perm—“

Sarangahae ...” potong Jeno menghentikan langkah Haechan yang ingin pergi.  “Naneun neoreul joahae ... narang saguillae?”  ( aku menyukaimu, maukah kamu menjadi pacarku? )

Haechan terdiam di tempat dengan degup jantung yang terasa berdentum keras. “Apa, apa yang kau katakan—“

Saat dia berbalik ingin bertanya, Jeno mencium bibir Haechan dengan lembut. Hanya sekedar menempel dan itu dapat membuat ribuan kupu-kupu menari di perut Haechan.

Mallo pyohyeonhal sueobseul mankeum saranghaeyo” ( aku mencintaimu lebih dari bagaimana kata-kata mengekspresikannya ) “Saranghaeyo ...” ( aku mencintaimu )

Jeno tersenyum menatap Haechan yang masih membeku di tempatnya seperti orang bingung. Pipinya sudah bersemu merah seperti tomat rebus. Dia kehilangan kata-kata dengan memilih melangkah linglung meninggalkan Jeno yang tersenyum geli melihat tingkahnya.

“Mungkin aku benar jatuh hati padamu Haechannie, beruang gendut yang cerewet.”

Haechan terus melangkah di koridor sambil memegang dadanya yang terasa berdetak-detak. “Apakah tadi aku bermimpi?” Haechan mencubit lengannya sendiri membuat ia berteriak kencang.

“YAK! AKU TIDAK BERMIMPI!” teriak Haechan seperti orang kesetanan. Dia berbalik, menatap punggung Jeno yang berjalan menjauh. “YA! JENO-YA SARANGHAEYO!!!” teriak Haechan berlari ke arah Jeno. Dia memeluk Jeno dari belakang dengan kegirangan.




TBC?


ORBIT [JAEMREN] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang