Chapter II : Avicenna

1.2K 109 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

SEBUAH kisah yang paling layak diketahui adalah tentang Abu Ali Al-Husain bin Abdullah bin Sina atau yang biasa disingkat Ibnu Sina atau lagi populer di negeri barat disebut Avicenna. "Bapak Kedokteran Modern" ini adalah salah satu ilmuwan islam berbagai bidang yang luar biasa. Penggabungan antara ilmu kedokteran, pengobatan (farmasi), filsafat, dan pengarang yang beliau miliki adalah sebuah kompleks pengetahuan yang tergabung begitu indah. Sebenar-benarnya pepatah "semakin padi berisi, semakin menunduk" adalah paribahasa yang pas. Setinggi apapun ilmu, puncaknya tetaplah pemilik ilmu itu. Bukan angkuh; sombong, apalagi berpuas diri. Seperti riwayat kisah beliau yang begitu apik, tatkala teman-temannya menasihatinya untuk memperlambat dan menjalani hidup secara moderat. Dia menolak, bagaimanapun, dengan menyatakan bahwa: "Saya lebih suka kehidupan yang pendek dengan lebar daripada yang sempit dengan panjang" . Di ranjang kematiannya penyesalan menangkapnya; dia memberikan harta bendanya kepada orang miskin, mengembalikan keuntungan yang tidak adil, membebaskan budaknya, dan membaca Al-Qur'an setiap tiga hari sampai kematiannya. (1)

Aku benar-benar tiba di rumah pukul empat sore. Ternyata jalanan selalu ramai, dan selalu saja macet apapun kendaraan yang dikendarai oleh manusia. Bak sungai yang terisi penuh dengan sampah, apapun tak akan mampu berjalan sesuai alur airnya.

"Assalamu'alaikum, Abi. Rena pulang," ucapku sambil membuka pintu dan mencari sosok Abi yang paling kusegani.

"Abi?" panggilku lagi karena Abi tak terdengar menjawab salamku.

Langkahku tertuju ke arah dapur. Pendengaranku seolah menyeretku kesana.

"Ya Allah, Abi. Abi lagi ngapain, sih?" omelku setelah kedua mataku melihat abi sedang berkutat dengan spatula dan frying pan didepannya.

"Lagi masak menu kesukaan anak perempuan satu-satunya Abi."

Aku mencibirkan bibir dengan menahan senyum. Tepat sekali, ayam filet yang digoreng lalu disaus tiram itu adalah menu favoritku. Apalagi dibarengi dengan seporsi nasi putih hangat. Sudah melebihi makan di restoran termahal versi apapun.

"Tapi enak gak tuh Abi buatnya?"

"Enak kalo yang ini, insyaa Allah."

Aku hanya membalas dengan tawa ringan.

Meski aku tak pernah mengerti, seperti apa itu kehangatan sosok ibu. Namun, aku cukup merasa lebih dengan sosok Abi yang kupunya.

Umi, Abi sudah cukup lebih memberiku kasih sayang meski aku disini tanpamu.

Tak terasa air mataku jatuh seiring aku membayangkan wajah umiku yang kutahu dari foto.

"Rena, lekas mandi sana! Masakannya udah hampir jadi, nih."

"Eum! Eh, iya, Abi. Siap."

Aku lekas menghapus bekas air mataku, tanpa Abi tahu.

"Bi Ami sama Pak Jamal udah pulang ya, Abi?" ucapku basa-basi sebelum benar-benar naik ke kamar; yang berada di lantai dua.

"Udah, Abi suruh lebih cepet."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Aku mandi dulu, Abi."

Menjadi seorang apoteker bukanlah cita-citaku dari kecil. I want to be a doctor. Tapi sekali lagi, rencana itu menurutku, bukan menurut Allah. Aku sempat kecewa ketika pilihan pertama untuk menjadi dokter itu kandas, dan beralih ke pilihan kedua, menjadi apoteker. Profesi yang sampai sekarang kujalani, bahkan sekarang kunikmati penuh suka cita.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang