Chapter VI : Kalsiferol

803 105 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Aku masih berjalan menuju tempat kerjaku. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sepertinya berbelok dulu ke taman samping rumah sakit bukan suatu ide yang buruk, lumayan untuk sekedar menumpang sarapan.

Finalnya, aku benar-benar membelokkan kakiku menuju gazebo taman yang terlihat kosong.

Menu sarapan kali ini masih sama seperti kemarin, berbahankan roti. Tapi kali ini berupa toast, roti panggang dengan bermacam isian. Mulai dari telur, sosis, daging, sayur, keju, dan macam-macam saus.

"Tunggu. Biasanya toast-toast pada umumnya pasti ada telurnya? Ini kok gak ada." Mataku benar-benar mengamati isian dari roti panggang yang baru kugigit satu kali ini. Roti panggang ini dibagi menjadi dua bagian. Jadi, isiannya bisa dilihat dari bekas irisannya.

"Ah, sudahlah. Bukan suatu masalah yang serius." Kulanjutkan ritual sarapanku hingga setengah irisan toast itu raib masuk ke perutku.

"Kak Rena!"

Aku menoleh mencari sumber suara.

"Keysa! Tumben dari arah sini?"

Keysa berjalan cepat menghampiriku. "Iya, gak tau sama Abang ojolnya diputerin sampai pintu masuk bagian samping. Tapi gak pa-pa, malah deket sama instalasi." Dia menyengir, tanda kalau dia merasa diuntungkan.

Aku hanya mengangguk sambil ber-oh ria.

"Wih, sarapan roti lagi, nih."

"Eh, iya. Nih, sarapan, Sa."

"Udah. Aku udah sarapan dari rumah, Kak. Kalau kekenyangan sarapan bisa-bisa malah mules aku."

Aku tertawa mendengar alasan Keysa. Sebenarnya tak masuk akal sekali.

"Btw, dilihat-lihat dari menu yang sama apakah sarapan dari orang yang sama juga?"

Keysa kembali berucap, tapi sekarang lebih ke-menggoda.

Antara harus bohong dan harga diri, nih. Aku gak mau Keysa godain aku lagi.

"Yang pasti sarapan ini halal. Dibuat, diolah, dan didapat dari sesuatu yang jelas."

"Bilang aja: Iya, dari dr. Proka."

Sudah kuduga Keysa akan berucap demikian. Jadi, sudah kulangkahkan dulu kakiku menuju instalasi. Meninggalkan Keysa yang mungkin masih mengoceh. Sudah pukul delapan kurang sepuluh menit, waktunya berkutat lagi dengan serangkaian obat yang perlu diracik dengan benar.

🍁🍁🍁

Aku menghembuskan napas dengan kasar. Instalasi farmasi kali ini sangat padat resep, sehingga padat pula kegiatan orang-orang di ruangan ini. Menjadikan AC yang mendinginkan ruangan bak sama sekali tak berfungsi.

"Banyakan resep pasien TBC ya, Kak?"

Keysa menyeletuk saat aku hendak mengambil keranjang berisi obat yang sudah di-packing, siap disalurkan bagian depan ke pasien.

"Udah waktunya pasien TBC check up mungkin," jawabku seadanya.

Keysa kulihat hanya mengangguk sambil terus melanjutkan kegiatannya, menyiapkan lembar demi lembar strip obat kedalam bungkus sesuai resep yang dipinta. Sebenarnya memang sudah biasa, pasien TBC disini mempunyai kebijakan untuk check up minimal dua minggu sekali. Jadi, setiap dua minggu sekali sudah tidak kaget lagi kalau resep pasien TBC aja udah memenuhi antrian. Belum lagi, resep dari dokter spesialis lain. Huft, ingin mengeluh. Namun, ini adalah konsekuensi yang kusetujui.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang