Chapter IV : Radiofarmaka

868 96 2
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Tau gak, Kak? Tadi diruang radioterapi ada pasien yang lagi proses diagnosis pakai larutan radioaktif NaI. Dan udah duduk dikursi khusus gitu, buat cari tahu tiroidnya. Aku masih aja ngeri kalau liat orang minum-minum radioaktif gitu."

Aku terkekeh mendengar cerita Keysa. Logat tubuhnya masih sama, antara geli dan takut.

"Itukan memang udah prosedurnya, Sa. Namanya juga radioterapi. Tadi kamu nganter obat lagi kesana?"

"He em. Jadi terpaksa deh aku liat."

Farmasi itu memang unik; dari obat berbagai macam pun harus paham. Dan semakin kesini peran farmasis bukan lagi asal-asalan. Kalau yang melibatkan zat radioaktif tadi namanya Radiofarmaka; obat radioaktif yang digunakan untuk mendiagnosis atau pengobatan penyakit.

Jadi teringat dengan Marie Curie, wanita pertama yang meraih hadiah Nobel dalam dua bidang sains yang berbeda. Beliau adalah peneliti bidang radiasi sehingga beliau jugalah perintis radiologi. Memiliki suami yang bernama Pierre Curie; ternyata juga satu bidang yang sama, membuatku terkagum. Mungkin jodoh memang sudah diatur satu frekuensi; satu pemikiran. Satu lagi quote dari Marie Curie yang menurutku sangat memotivasi, "Hidup tidak mudah bagi siapapun diantara kita. Tapi bagaimana dengan itu? Kita harus memiliki ketekunan dan keyakinan yang diatas segalanya pada diri kita sendiri. Kita harus percaya, bahwa kita dikaruniai sesuatu dan bahwa hal itu harus dicapai". Namun, ada hal yang lebih lagi; yang bisa aku ambil dari sosok Marie Curie yaitu pengorbanan. Beliau terlalu tekun sehingga beliau sendiri yang terimbas dengan apa yang beliau lakukan. Beliau tak mengetahui bahaya zat radioaktif saat mencoba mengisolasinya, sehingga terlalu sering melakukan kontak langsung dengan unsur-unsur tersebut. Radiasi sinar radium yang berlebih memberi dampak negatif bagi tubuhnya, ia mengidap anemia. (1) Dan tiga bulan setelahnya, Marie Curie menghembuskan napas terakhirnya. Hal ini mengingatkanku dengan kutipan Ali bin Abi Thalib bahwasanya bunga akan tetap memberikan keharuman, meskipun pada tangan yang telah merusaknya. Penemuan-penemuan beliau akan terus tetap harum, meskipun zat itu sendiri telah merusak jasadnya.

"Oh My God, Kak Rena!"

Aku terkagetkan dengan suara Keysa yang kembali bersuara. Tapi kali ini lebih kencang, membuat jantungku hampir lepas rasanya. Membuyarkan lamunanku yang bernostalgia dengan sosok Marie Curie pada mata kuliah radiofarmasi.

"Ada apa?" tanyaku tidak sabaran.

"Ini bukannya tangan Kak Rena, ya? Aku hafal banget jam tangannya."

Aku memfokuskan mataku untuk melihat gambar yang Keysa serahkan padaku lewat layar handphone-nya.

"Iya, ini aku. Eh? Di story siapa?"

"Kak Gafi. Instagram story-nya."

Aku masih terdiam. Mengamati potret dua tangan yang diambil tanpa seizinku.  Tangan pertama tangan Kak Gafi diatas meja, satunya lagi tanganku yang juga sama sedang diatas meja. Hidangan makan malam tadi seolah menjadi pelengkap potret dua tangan yang seolah manusianya sedang dinner berdua. Memang sih, aku duduk berhadapan dengannya tadi malam. Sampingku adalah Alisa dan samping dia adalah Abi.

"Berdua aja, Kak? Tadi malem?"

"Enggak, kok. Ada Abi sama Alisa juga; adiknya Kak Gafi. Dianya aja yang curang cuma memfoto itu aja seolah-"

"Seolah dinner romantis. Ciee..."

"Apaan sih, Sa." tegurku pada Keysa yang semakin menjadi-jadi memergokiku. Saat ini adalah waktunya makan siang, jadi banyak orang instalasi yang sedang bergantian keluar untuk makan siang atau sholat dzuhur.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang