Chapter III : Toxicology

962 107 2
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Memang ya kita itu gak boleh pilih-pilih mau berteman sama siapapun, tapi ada kalanya kita harus hati-hati pada siapapun."

Aku mendengar dengan samar Abi sedang bermonolog. Taksi online yang kutumpangi bersama Abi menuju jalan pulang masih berjalan setengah perjalanan dari restoran.

"Abi rasa hanya bahan kimia aja yang bikin toxic, eh ternyata tidak."

Aku masih mengedarkan pandangan keluar jendela. Sedang malas merespon Abi.

"Kamu tadi menyimak cerita Gafi gak, Rena? Banyak pelajarannya."

"Ehm?" tolehku dengan cepat. "Rena gak nyimak, tadi asyik cerita sama Alisa," senyum tipisku menghiasi jawaban singkatku.

Aku yakin, Abi pasti menghela napas meski tidak terdengar. Abi sebenarnya anti sama orang yang kurang aktif jika diajak berbicara atau lebih tepatnya diskusi. Maklum, dia dosen yang cukup banyak pengalamannya.

"Gafi tadi cerita kalau dirinya banyak sekali menemukan teman-teman toxic dalam dunia bisnisnya. Macem-macem ya, definisi toxic kalau udah digabungkan dengan subjek manusia."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Tidak terlalu buruk jika tak merespon, setidaknya mendengarkan.

"Intinya sih katanya, kalau kita berani membuka relasi seluas mungkin maka kita harus siap juga menerima jika semua orang gak sama. Gak semua sefrekuensi. Gak semua menyehatkan. Meskipun, kita butuh dan perlu berteman dengannya. Silaturahim-nya tetep, tapi bukan berarti sisi negatifnya dirangkul juga."

Aku kembali menganggut membenarkan. "Bener tuh, Abi. Keren." Senyum tipis tak minat aku tampilkan lagi untuk merespon ucapan Abi.

"Kamu kenapa sih kok males gitu bawaannya?"

"Capek. Hehe."

Setelahnya tak ada percakapan apapun antara aku dan Abi hingga mobil yang mengantarkan kami berdua telah sampai ke halaman rumah. Entah mengapa mood-ku kali ini terasa turun drastis, sedang tak ingin merespon apapun. Yah ... Mungkin karena kelelahan. Karena jadwalku hari ini padat sekali; pulang kerja telat hingga dinner dadakan yang berakhir pukul hampir sepuluh malam ini.

"Rena langsung ke kamar ya, Abi. Besok kerja harus berangkat pagi."

"Ya. Jangan lupa wudhu dulu."

Aku hanya menanggapi dengan jempol yang teracung. Sambil melanjutkan kembali langkahku menuju kamar.

Teringat perkataan Abi yang mengulang percakapan beliau dengan Kak Gafi. Aku jadi berpikir, "Bukankah toxic atau tidak itu tergantung kita mampu mencari penawarnya atau tidak?" Seperti pepatah dasar ketika aku belajar tentang toksikologi semasa kuliah, "Treat the patient not the poison." Intinya, semua tindakan ada dimanusia, bukan racunnya.

🍁🍁🍁

Tubuhku diminta maraton kembali pagi ini. Bagaimana tidak? Apoteker yang sedang menjalankan sif malam di UGD terpaksa pulang lebih awal karena anaknya sedang sakit. Maklum, hanya aku yang belum menikah diantara beberapa apoteker yang ada di rumah sakit. Dan sekarang, tepat pukul empat pagi ini aku harus bisa sampai selambatnya pukul setengah lima di rumah sakit. Ya, aku diminta untuk menggantikan beliau; mengisi sif yang  selesai pada pukul tujuh pagi. Perihal menolak, aku tipe orang yang tidak mudah menolak permintaan tolong orang lain. Terlebih dia adalah senior dan hanya aku yang mungkin menurut beliau bisa dimintai pertolongan.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang