Chapter XIV : Vital amine

648 82 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Jalanan kota kembali kulewati, bersama dokter Proka. Beliau kekeuh menjemputku setelah aku mengabarinya kalau Abi sedang kambuh dari penyakit gout-nya. Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi membawa kendaraan sendiri. Alasannya karena dua hari lalu aku hampir saja mengalami kecelakaan. Untung aku sigap dan lekas membelokkan setir motor yang kukendarai ke lain arah. Trauma? Sudah pasti. Apalagi masih terhitung beberapa hari.

"Abi udah lama menderita arthritis gout?"

"Abi?" tanyaku mencibir. Ayahku bukan ayah dari dia juga.

"Om Amran."

"Hmm ... Udah lama, sih. Sejak Abi jadi dosen 7 tahun yang lalu mungkin," ucapku meliriknya sekilas.

"Udah berapa kali check-up?"

"Setahun ini gak pernah check-up lagi." Aku meringis memamerkan gigiku yang rapi. Hal yang salah sebenarnya, kadar asam urat seharusnya rutin diperiksakan.

"Apa?!" Terdengar nada bicara dokter Proka kaget mendengar pernyataanku.

"Soalnya Abi susah sekali disuruh untuk check-up."

"Kambuhnya Om Amran parah gak?"

"Skala ringan-sedang. Sesekali nyeri di jari-jari tangan. Aku cek tidak ada tophi, hmm .... mungkin. Soalnya belum periksa di lab lagi. Aduh, susah dok. Ajak Abi buat ke rumah sakit." Nada bicaraku semakin kesini semakin frustrasi.

"Besok coba aku bicara sama Om Amran."

Aku menautkan bibir sambil mengangguk-angguk. Yah semoga saja Abi mau memeriksakan diri setelah mendapat petuah dari dokter Proka.

"Bagaimana sama yang kemarin?"

"Kemarin? Kemarin ada apa?" Penyakit lambat berpikirku sedang on. Aku berusaha keras menerawang apa yang dokter Proka katakan.

"Laki-laki di halaman parkir kemarin."

Aku berhenti bergerak sesaat.

Aku bergumam sebelum aku berkata, "Mungkin akan aku tolak." Sekilas senyumku mengembang. "Tapi aku bingung bagaimana caranya menolak," lanjutku.

"Ya kamu tinggal bilang kalau kamu sudah ada yang nyeriusin."

"Siapa?" tanyaku polos. Sedetik setelahnya aku tergelitik dalam diam. Bergurau dan aku sebagai pemegang kendalinya lucu juga. Apalagi seorang dokter Proka yang kukerjai.

Dia kulihat melirikku sekilas. Kalian bisa tebak raut wajahnya bagaimana? Datar. Sedatar jalanan kota yang kulalui.

"Aku sudah menyangka sebelumnya. Jadi tidak usah ajak bercanda. Realita tidak bisa diajak untuk bergurau."

Mood-ku yang merangkak naik, anjlok ke dasar. Ekpresiku berubah tak kalah datar dengan ekspresi dokter Proka.

Kenapa aku yang jadi dapat quote? Eh termasuk ujaran kebencian, bukan sih?

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang