Chapter V : Bahasa Mati

802 101 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Dulu, ketika kuliah farmasetika banyak sekali teman-teman kuliah yang tanya, "Mengapa bahasa latin digunakan di resep?"; "Mengapa tidak bahasa internasional saja, bahasa Inggris?"; "Bukankah malah ribet jika resep ada bahasa khusus?" dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sangat menarik dijawab menurutku. Pertanyaan tadi yang menurutku juga pantas ditanyakan berubah kicep ketika dosen menjelaskan alasan dipakainya bahasa latin dalam ilmu kefarmasian. Pertama, bahasa latin adalah bahasa mati; yang artinya tidak akan berkembang dan bukan bahasa sehari-hari. Hal ini sangat efektif untuk menjaga keambiguan dari bahasa ini. Kedua, bahasa latin merupakan bahasa internasional antara dokter dan farmasis. Ketiga, untuk menjaga kerahasiaan penyakit seseorang. Dan terakhir, untuk menjaga keadaan psikologis pasien akan tidak perlunya mengetahui bahan obat apa yang diberikan untuknya. Seperti ungkapan dalam bahasa latin yang menyatakan bahwa, "Nulla est medicina sine lingua Latina; Tak terdapat ilmu kedokteran tanpa bahasa Latin." Setelah dosen menjelaskan detail-detail poin tersebut, alangkah ricuhnya kelas ketika Riri menyeletuk, "Jadi, se-spesial ini hubungan dokter dan apoteker? Bahasa latin aja udah kayak bahasa kalbu yang diakui internasional?".

Aku tertawa ringan mengingat momen itu. Suatu peristiwa dimana masa capek mencari ilmu itu terbayar penuh sekarang. Bahkan rasanya raga mulai merindu akan kebersamaannya. Riri, adalah temanku kuliah. Dia memang begitu, selalu mendrama. Sedrama film dan series yang tak absen dia tonton, drakor. 

Drt. Pesan masuk.

Assalamu'alaikum, Rena. Besok mama titip sarapan lagi. Tapi saya titipin ke pos satpam ya, ke pak Tijo. Besok saya gak bisa kasih langsung, saya harus berangkat lebih pagi, ada rapat dengan direktur rumah sakit.

Aku berhenti bernapas sepersekian menit. Kenapa jadi begini? Sebenarnya apa yang meracuni mamanya dokter Proka hingga terobsesi denganku? Obat yang aku kasih ke beliau tentu bukan jawabannya 'kan? Obat kemarin hanyalah obat untuk kesembuhan penyakit beliau, bukan sekalian berisi obat psikotropika atau narkotika yang membuat beliau ketergantungan denganku.

Wa'alaikumussalam. Tapi, dok. Sebenarnya tidak perlu mamanya dokter membawakan saya sarapan terus setiap pagi. Saya jadi gak enak.

Sebenarnya aku ingin berontak, darimana dokter satu ini memperoleh nomor WhatsApp-ku. Namun, niat itu kuurungkan karena pasti pemberinya tidak jauh dari lingkunganku sendiri. Kita satu tempat kerja, dan hal itu sangat memudahkan dia untuk memperoleh nomorku satu-satunya ini.

Sudah, gak pa-pa. Besok mama saya ada jadwal check up, jadi saya pastikan sarapan itu sampai ke kamu, ya.

Kamu? Ya Allah ... Tidak adakah bahasa lebih formal diatas kamu tapi bukan Anda? Eh, kenapa aku salting, sih? Renaaa ...

"Ingin tanya lebih, tapi ..."

Aku adalah tipe orang yang mudah sekali bersimpati. Setiap mendapat  perhatian atau berbicara dengan seseorang kadang responku luar biasa. Itulah mengapa, aku lebih menjaga perasaanku. Takut larut dan akhirnya aku sendiri yang baper. Jadi, kalau dibilang meluluhkan hati perempuan itu sulit; itu salah. Usahamu mungkin yang belum maksimal. Perempuan kerap mengutamakan perasaanya, ini rumus paten.

"Ah, gak jadi deh. Besok aja sekalian. Eh, tapi kan aku gak ketemu dr. Proka langsung."

Jika perkataan Riri benar, bahwa ada satu bahasa yang sudah seperti bahasa kalbu antara dokter dan apoteker? Tapi aku sama sekali tak mengerti apa maksud dokter Proka memperlakukanku seperti ini? Justru sama sekali tak mengerti.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang