Chapter XXII : Medicine or Poison?

829 82 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Saya terima nikah dan kawinnya Renata Alana binti Amran Hafi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah!"

"Sah!"

Dua orang saksi bergantian berucap sah. Hal itupun yang membuat hatiku terikat resah kini mulai terlepas. Lega, berangsur menjadi kupu-kupu yang berterbangan membawa bahagia.

"Alhamdulillah ... Akhirnya ... Ibu apoteker yang totalitas ini punya suami juga."

Keysa berucap demikian sambil memelukku gemas. Ya, Keysalah yang menemaniku di kamar. Kurasa orang terdekat kita adalah orang yang terakhir kali kerap berinteraksi dengan kita. Perihal teman yang dulu pernah paling akrab, dimasa sekarang tentu tak akan mungkin lagi seakrab orang yang selalu bertemu setiap harinya. Itulah mengapa aku lebih nyaman jika Keysa yang menemaniku disini.

"Suaminya ditemukan secara mendadak lagi, satu tempat kerja pula," ucapku menimpali kerecehan Keysa.

"Hust ... Gak boleh begitu. Jodoh memang misteri dan segala misteri, Allah yang pegang. Siapa sangka juga dapatnya dokter Proka, padahal kandidat terkuat kemarin-kemarin Kak Gafi, kan?"

Aku tergeming mendengar kata Gafi. Aku turut mengundangnya kemarin, tapi entah dia akan datang atau tidak hari ini. Inginku, jika aku sedang bahagia aku juga ingin melihatnya bahagia sepertiku. Ya, berbagi rasa layaknya seorang adik dan kakak. Bagiku dia adalah kakak laki-laki yang sangat baik.

"Rena, ayo! Sudah waktunya keluar."

Kak Shena muncul dari balik pintu diikuti Abi yang berjalan dari lantai bawah, tempat akad dilaksanakan.

Aku mengangguk. Keysa dengan sigap menata gaunku agar tetap rapi dan anggun ketika aku bawa berjalan. Ya, aku menjadi ratu yang akan dijejerkan dengan raja hari ini.

Denyut jantungku terasa semakin terasa seiring aku mendekat ke tempat dilaksanakan akad, mendekat ke tempat dokter Proka duduk. Kenapa jantungku ini? Sepertinya bersama Keysa di kamar tadi tidak segugup ini?

Sejauh ini, aku belum siap menatap matanya. Mata yang sebenarnya halal aku pandang.

Aku berkali-kali mengatur nafasku dalam diam. Entah ekspresi apa yang dia tampilkan ketika melihatku berdandan demikian. Suasana juga terasa senyap, memberiku ruang untuk menikmati syahdu pertemuan ini.

"Boleh maharnya diserahkan ke istri dan istri mencium tangan suaminya," ucap penghulu yang ada didepan kita berdua.

Berkat suara penghulu itulah, aku terjaga kembali dan reflek menatap wajahnya.

"Maasyaa Allah ...," lirih dokter Proka yang menangkap tatapanku.

"Silakan," ucap ramah crew wedding organizer  yang menyiapkan mahar untuk diserahkan padaku.

"Untung saja cepat dialihkan oleh crew wo," batinku. Tidak tahu lagi bagaimana jika hal tadi berlama-lama.

Prosesi akad telah sepenuhnya selesai. Jabat antara tanganku dan tangannya masih terasa di telapak tanganku. Akhirnya, ada tangan laki-laki lain yang bisa kusentuh selain Abi. Hal ini menandakan pula bahwa dia adalah teman berbagi di separuh umur ragaku.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang