Chapter XVIII : Tablespoon

654 86 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Malam ini. Keluarga dokter Proka akan datang ke rumah. Maksud melamar dan berlanjut tunangan itu akan benar-benar dilaksanakan malam ini.

Jantungku mulai tidak berdetak normal. Bukan karena fibrilasi atrial, tapi karena gugup sebab hal besar akan terjadi malam ini.

"Maasyaa Allah, cantiknya anak Abi."

Abi masuk kedalam kamarku yang secara tak langsung bisa melihat wajahku dari cermin. Hanya riasan simpel sebenarnya, tapi karena Abi tak pernah melihatku berdandan seperti ini pastilah membuatnya pangling.

Kebaya cantik berwarna hijau tosca tua yang dipesankan oleh mamanya dokter Proka juga sangat pas di badanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebaya cantik berwarna hijau tosca tua yang dipesankan oleh mamanya dokter Proka juga sangat pas di badanku. Menambah kesan pangling bagi mereka yang jenuh melihatku selalu memakai setelan kasual. Ya, menurutku cantik tak perlu dimahasempurnakan dengan outfit. Toh outfit hanyalah atribut, bukan dasar dari cantik yang sesungguhnya.

"Renata 'kan perempuan, Bi. Jelaslah cantik," tanggapku percaya diri.

"Huft ... Rasanya Abi mulai merasakan rasa kehilangan itu."

"Bi ...." Aku cepat-cepat membalikkan badan, menatap laki-laki pertama yang kucintai di dunia ini.

"Kata Abi, kesedihan di dunia itu wajar. Dan itu bagian dari hidup. Kita biasa menerima senang tentu harus mau menerima sedih. Kata Abi, gitu."

Perlahan kurasakan pelukan hangat memeluk tubuhku. Aku merasa sangat disayangi.

"Allah ... salinkan rasa sayang Abi ini pada calon suamiku. Aku yang biasa seperti ini, mana mampu aku menerima penolakan," batinku bergemuruh. Sedikit munafik dengan apa yang aku katakan pada Abi barusan. Bahwasanya kita harus mampu menerima keadaan apapun sekaligus rasa yang menyertainya.

"Mereka sudah datang. Kita langsung turun saja demi menjaga jantungmu tetap aman. Abi dengar, loh," ucapnya dengan sedikit gurauan yang sukses membuatku tersipu.

Aku hanya membalas dengan hembusan napas yang menyiratkan kekesalan. Ya, adegan barusan hanyalah candaan semata. Tidak dapat dipungkiri, lagi-lagi jantungku berdentum keras.

Aku dituntun Abi menuruni tangga rumah sebelum sampai di ruang keluarga. Ruang yang sebagian telah dirubah layaknya ruang pemotretan. Backdrop yang berbunga-bunga, jelas menggambarkan suasana sekaligus tujuan dari acara malam ini.

Kulihat dia mengenakan kemeja batik yang senada dengan warna kebayaku. Sederhana, tapi kelihatan elegant. Satu lagi, dia terlihat santai sekali malam ini. Tak absen, senyum kecil yang terlempar beberapa kali ketika dia merespon orang-orang yang berinteraksi dengannya. Terakhir, pandangan itu jatuh ketika aku hampir mendekat, bergabung dengan keluarganya yang telah duduk di sofa. Kita saling pandang. Satu sama lain.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang