Chapter XXIV : Oxytocin

749 55 5
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Setelah ini tinggal sendiri, ya," kata dokter Proka enteng sambil mengemasi barang kami berdua. Pagi ini kita siap check out dari hotel tempat diadakannya pesta pernikahan kami.

"Jangan dulu lah, Mas. Aku masih mau tinggal sama abi," belaku tak setuju.

"Terus mau sampai kapan?"

"Sampai aku siap."

"Kalau kamu gak coba kamu gak balakan siap."

"Abi hanya punya aku, Mas."

"Iya, tahu. Tapi sekarang kamu punya aku."

"Kalau begitu tinggal dekat  Abi aja. Cari rumah sekitaran kompleks rumah abi. Ide bagus, kan? Oke, deal?" Aku mengulurka tanganku untuk berjabat tangan dengannya. Ideku adalah ide yang paling bagus menurutku. Tentu, menurutnya juga.

"Tidak! Aku ingin tinggal di dekat rumah sakit."

Aku melongo menatapnya. "Kok ...?"

"Biar aku tidak terlalu ribet buat datang ke rumah sakit, Ta."

Ini egois, sungguh.

"Kamu pikir Mas saja yang ingin enak? Aku juga ingin tinggal dekat abi. Kalau abi kenapa-napa gimana?"

"Kan ada Pak Jamal sama Bi Ami."

"Pak Jamal sama Bi Ami itu orang lain. Sedangkan aku anaknya!" Aku melengang pergi dari kamar sambil membawa tas bahuku. Aku memang sengaja keluar karena semua barang telah selesai dikemas ke dalam koper. Jujur, aku kecewa padanya. Ringan sekali berkata seperti itu, padahal tidak tahu apa yang aku rasakan.

"Renata!" Panggilnya yang sigap membuntutiku.

Aku tetap melangkah menuju lift lantai ini. Aku menoleh padanya sebelum pintu lift benar-benar tertutup. Ya, meninggalkan dia yang sedikit berlari menggeret satu koper, tempat perlengkapan kami berdua.

Aku melamun sambil sesekali menatap angka didalam lift. Takut salah lantai lagi. Baru beberapa hari saja aku banyak diatur oleh manusia asing bergelar suami itu. Bagaimana dengan alur hidupku kedepannya? Karena lagi-lagi, aku bukan tipe wanita yang suka diatur. Entah alpha woman atau independent woman yang ada pada diriku. Intinya, aku bisa melakukan apapun tanpa banyak merepotkan orang lain.

Aku berjalan keluar gedung. Melangkah pelan menuju jalan keluar yang biasa taksi online menjemput dan menurunkan penumpang.

"Renata!"

Aku menoleh dengan ekspresi datar.

"Pulang bareng, ya."

Aku hanya diam menatapnya.

"Ke rumah abi." Sambungnya.

Aku masih tak merespon. Tak lama tangannya bertaut dengan tanganku.

"Aku sudah pesan taksi online. Sepertinya sudah dekat."

Aku lagi-lagi hanya menatapnya sekilas dan kembali diam.

"Itu dia." Ucapnya sambil menunjuk mobil hitam yang menghampiri kita berdua.

Pro Re Nata [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang