Cerita versi Rinaldy belum selesai. Gue dan Ibu masih saksama mendengar. Pun dengan Ayah Jaya. Sementara Bang Satya masih dengan bacotannya yang terkesan mencecar.
"Kok, lo nggak pikir panjang masuk kamar orang?"
"Wah, kalo emang dikira maling beneran bisa ancur lo dikeroyok warga."
"Lagian lo ada-ada aja, pakek buka baju segala, sih."
"Tapi, ada baiknya juga lo jadi mendadak dapet bini bening kayak Desti. Eh, siapa lo namanya, Adik Kecil?"
"Bang, baiknya lo diem aja, deh." Rinaldy akhirnya meladeni sang kakak setelah beberapa saat mendiamkannya.
Bang Satya mengangkat bahu dengan enteng. Entah apa maksudnya. Gue lirik ekspresi Ayah dan Ibu biasa saja. Mungkin mereka sudah terbiasa melihat kedua anaknya saling ketus ketika berinteraksi.
Gue sedari tadi masih diam. Belum berani angkat suara jika tidak ditanya. Lalu, rangkaian kata kembali keluar dari lisan Rinaldy.
Ia melanjutkan cerita tentang bagaimana saat dirinya merasa terpojok karena sirene polisi yang terdengar makin kemcang, makin mendekat. Dia yang kebingungan, memilih memanjat pohon kersen di sampingnya. Lebih efektif daripada lari dengan motor, katanya.
"Kamar Adhisty ada di paling samping, Bu. Lihat jendelanya yang setengah kebuka, tapi di dalem kelihatan senyap, sepi banget, aku kira enggak ada orangnya. J-jadi, ya ... aku masuk," ujar Rinaldy sembari mengusap tengkuk.
Bisa gue lihat ujung telinganya merona. Malu, kah?
"Kok bisa?" Bang Satya menyela.
"Y-ya ... jendela kamar Adhisty model casement, model yang didorong keluar. Berhubung dahan pohonnya deket, aku melangkah ke topian jendelanya, terus masuk. Dan emang bener, kamarnya kosong. Aku matiin sekalian lampunya biar aksi ngumpetnya total. Taunya yang punya kamar lagi ... mandi. Nggak lama Adhis keluar, orang-orang pada geger di luar. Terus badan aku yang merah-merah karena digigit semut dari pohon, makin kuatlah spekulasi mereka," pungkasnya mengakhiri.
Oke. Kini gue ngerti bagaimana runtutan ceritanya. Lagi-lagi, gue curi-curi pandang untuk menilik ekspresi Ayah dan Ibu. Keduanya kompak mengernyitkan dahi. Yang gue tangkap, semacam ekspresi tak habis pikir, dan belum puas dengan penuturan Rinaldy.
"Gini, Bu, ternyata Adhy yang masuk lewat jendela itu dilihat warga sekitar, dikira mereka dia maling. Jadi, itu mulanya orang-orang pada datengin kamar Adhis." Kali ini gue menambahi. Sedikit.
"Jadi, kalian mau bagaimana ke depannya?" Ayah bertanya dingin.
Gue menoleh ke arah Rinaldy, pun begitu dengannya. Kami saling pandang sejenak, sebelum akhirnya dia menghela napas panjang.
"Tadinya, Adhis emang mau langsung pisah setelah ini, Yah. Gimanapun juga, pernikahan semalam sama sekali nggak niat. Tapi mamanya Adhis enggak setuju. Beliau enggak percaya kalau kami belum sempat ngapa-ngapain."
What? Belum sempat?
"M-maksudnya enggak. ENGGAK ngapa-ngapain." Rinaldy meralat kalimatnya setelah mendapati tatapan mata tajam dari semua orang.
"Terus?" Bang Satya kembali mencecar.
Rinaldy menyikut lengan gue pelan. Ih, senggol-senggol.
Gue tahu kalau itu kode buat gue yang harus lanjut cerita. Memang sengaja gue dari tadi diam. Entah, enggak ada alasan khusus. Biar saja Rinaldy yang mengatasinya.
Gue menahan tawa saat Rinaldy lagi-lagi menghela napas panjang setelah gue bergeser menjauh satu jengkal dari sampingnya. Bagian ini gue enggak mau ngomong.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Freaky Wedding
RomanceBagaimana jadinya jika kamu dinikahkan paksa karena kepergok berzina, sementara lelaki yang akan menjadi suamimu itu belum kamu kenal sama sekali? Ini kisah tentang nasib nahas Adhisty Irawan. Gadis yang masih berstatus mahasiswi harus dinikahkan p...