Selamat membaca.
...
Hari ini langit mendung. Sama seperti keadaan hati gue. Mendung, berkabut, suram.Seperginya Raka sore tadi setelah melayangkan deklarasi berakhirnya hubungan kami, rasanya ... semangat dan gairah melakukan aktivitas juga ikut padam dan hampir berakhir. Namun, Raka pernah bilang, selagi dunia belum kiamat, gunakan waktu dengan melakukan hal-hal yang kamu sukai meskipun itu hal yang sepele.
Dari situ, gue kembali teringat masa-masa kelam, di mana pada masa itu pernah merasa lebih baik mati. Kemudian kata-kata Raka tadi seperti menjadi suntikan positif.
Gue harus bertahan demi bisa menikmati enaknya makan mie ditambah nasi dan telur. Gue harus bertahan demi konser Justin Bieber atau artis K-Pop dan ikut melompat-lompat seiring lagu yang mereka persembahkan. Gue harus bertahan demi menunggu episode terbaru dari serial Netflix yang masih on going. Gue harus bertahan demi kompetensi bersama Suketi yang harus menjadi wisudawan terbaik nanti.
Sepele, kan? Tapi bisa membuat gue bertahan sampai sejauh ini.
Sekarang, sore pukul lima, mungkin lebih tiga atau empat puluh menit. Yang gue lakukan setelah sampai di apart, lalu bersih-bersih badan, adalah melamun di sofa yang menghadap ke luar.
Dinding kaca raksasa yang menjadi pembatas ruang tengah dan balkon itu membuat gue bisa menatap bagaimana awan kelabu yang bergumul di langit sore ini bergerak lamat-lamat. Lampu-lampu perkotaan yang mulai menyala seolah menggusur senja yang memang sudah waktunya hengkang.
Ya, begitulah. Segala sesuatu punya waktu untuk datang dan pergi. Senja ... pun manusia.
Dari belakang terdengar grasak-grusuk seseorang datang. Mungkin Rinaldy. Kalaupun orang lain seperti Bang Satya juga ya sudah, terserah. Gue nggak mau mengalihkan atensi dari panorama senja tanpa jingga. Dilihat dari kelabunya awan yang kian menggelap, sepertinya akan turun hujan. Kalau iya, berarti akan menjadi hujan pertama di bulan Oktober.
"Buat kamu, Dhis."
Nggak lama setelah grasak-grusuk tadi, tiba-tiba saja semangkuk mie goreng dengan telur mata sapi dan irisan sosis tersuguh di meja, di hadapan gue. Gue mengangkat pandangan, pelakunya sudah lebih dulu mengempaskan diri ke sofa tepat di samping gue.
"I don't know ... aku bener atau salah, aku rasa kamu butuh asupan mecin," kata Rinaldy yang penampilannya masih dalam balutan kemeja batik berlengan panjang dengan warna dasar abu-abu, masih sama seperti tadi gue melihatnya di pesta resepsi. Jika Raka tambah kharismatik dengan batik, sementara Rinaldy kesannya adalah classy.
Oh, ya. Tahu dari mana dia?
"Ehm ... waktu itu kamu makan mie pas kulihat kelihatannya lagi badmood, atau emang lagi nggak baik-baik aja. Makanya, itu buat kamu. Anggap aja sebagai ganti yang kumakan," terangnya, seperti tahu kenapa gue mengernyitkan dahi.
"Jadi di mata lo sekarang gue lagi nggak baik-baik aja?"
Rinaldy mungkin tahu jika itu pertanyaan retoris, makanya dia hanya mengangkat bahu sebagai balasannya.
"Thanks," kata gue sambil menarik mangkuk itu dan membawanya ke pangkuan, lalu mundur bersandar di punggung sofa dan menyantapnya.
Nggak pedas. Tekstur kuning telurnya juga masih creamy, nggak terlalu matang. Irisan sosisnya enak, nggak tahu dia pakai merek apa. Kesimpulannya, dia jago masak mie. Terus, kekurangan dia tuh, apa sih?
Seperti ada ruang kosong di antara kami ketika saling diam meski retina menatap objek yang sama.
"Dhis, aku di sini, kalau-kalau kamu butuh pendengar," katanya tiba-tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Freaky Wedding
RomanceBagaimana jadinya jika kamu dinikahkan paksa karena kepergok berzina, sementara lelaki yang akan menjadi suamimu itu belum kamu kenal sama sekali? Ini kisah tentang nasib nahas Adhisty Irawan. Gadis yang masih berstatus mahasiswi harus dinikahkan p...