15 - Leave You Alone? No

254 25 8
                                    

Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya. 🌟

.

Hening menyelimuti kami. Sesekali Rinaldy berdeham selagi gue menempelkan kompres dingin ke punggungnya yang membiru ini. Bisa gue lihat telinganya juga memerah. Canggung? Malu? Pppft.

Agaknya dia salah paham soal gue yang memintanya buka baju tadi. Padahal, gue cuma mau memastikan apa yang tertangkap mata itu benar atau tidak. Dan ternyata benar. Ada lebam yang membiru di punggungnya. Sepertinya bukan luka lama. Dan di bagian pinggang juga memerah-beberapa lecet juga, seperti habis terkena pukulan benda tumpul. Mungkin juga akan membiru esoknya.

"Kenapa bisa gini sih, Dhy? Lo abis jatuh, berantem, atau dikeroyok preman, sih?" tanya gue sambil menatapnya lewat pantulan standing mirror yang tak jauh di seberang kami.

Wajah yang semula tertunduk sambil mendesis ngilu itu mendongak, membalas kontak mata gue.

"Dhis, kamu pernah bicara face to face sama Ayah?" tanyanya tiba-tiba.

Gue mengernyit, sambil mengingat-ingat apa ada masa di mana gue dan Ayah pernah mengobrol empat mata? Rasanya enggak. Berbincang ketika sedang berkumpul saja jarang.

"Enggak. Kenapa?"

Rinaldy kembali menunduk, bergumam singkat, lalu senyap beberapa saat. Tangan gue yang memegang kompres es turun dari punggungnya.

"Nggak apa-apa. Cuma misal kamu ada ngobrol berdua sama Ayah, aku harap kamu bisa maklum dan nggak sakit hati kalau misalnya ada ucapan Ayah yang nyinggung perasaan kamu."

"Kenapa lo tiba-tiba kasih wejangan gitu?"

"Misalnya aja. Biar kamu nggak kaget," jawab Rinaldy yang terdengar sekenanya dan asal-asalan. Seperti menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang belum bisa tertuang.

Gue hanya mengangguk dan bergumam saja sebagai balasannya.

Setelah cukup beberapa menit mengompres luka lebamnya, atensi gue terfokus pada pinggang bawahnya yang sebelah kanan. Ternyata luka lecet, permukaan kulitnya sedikit mengelupas, bukan cuma memerah biasa. Lecetnya terasa agak lembap, sepertinya baru saja dia dapatkan.

Satu pertanyaan gue. Kapan tepatnya Rinaldy mendapatkan ini? Sedari pagi dia di apart, dan dia baik-baik saja. Duduk di meja makan tadi juga dia enggak menunjukkan ada anggota badan yang sakit. Kemudian gue mendapati Rinaldy begitu setelah dia menghampiri Ayah.

Ah, buru-buru gue menggeleng saat prasangka buruk datang menghampiri kepala. Nggak mungkin, 'kan?

"Ini perih, Dhy?"

"Nggak-akh! Jangan diteken!"

Baru saja gue menempelkan kain kasa yang sudah ditetesi obat merah, dia mengerang. Gue sampai kaget, tapi ... astaga, dia lucu. Dia bilang nggak perih, tapi erangannya mengonfirmasi kebalikan.

"Adhis, be calm!" sergahnya lagi sambil berbalik cepat menghadap gue seraya menahan tangan yang hendak kembali menyentuh lukanya.

"Pppft. Lo nggak percaya sama gue?"

"Bukan nggak percaya, tapi kamu emang kayaknya agak nggak bisa lembut," sungutnya.

"Astaga, iya. Gue bakal pelan-pelan. Ini lepas tangan gue." Rinaldy masih menahan pergelangan tangan gue.

"Nggak. Jaga-jaga kalau kamu bertindak kasar," jawabnya.

Ck! Gue nggak nyangka dia bakal menjadi penakut gini.

Pelan-pelan gue kembali mendekat. Gue nggak bisa menggunakan tangan kiri. Posisi lukanya yang berada di pinggang belakang bagian kanan membuat gue agak kesusahan menggapainya karena cekalan tangan Rinaldy yang sepertinya benar-benar sekhawatir itu.

Dari radius sedekat ini, gue bisa merasai wangi parfum yang melekat di tubuh Rinaldy. Aromanya paling pekat di area leher. Amat nyaman di indra penciuman. Bvlgari, Hermes, Chanel, Dior, parfum dengan brand-brand itu tertangkap mata gue berjajar di rak dinding. Entah yang mana yang dia pakai, tapi gue suka wanginya. Lembut, elegan, cocok dengan pembawaannya yang tenang dan santai.

"B-by the way, kamu kelihatan bestie banget sama Ibu," celetuk Rinaldy yang sepertinya juga merasa aneh dengan posisi kami yang awkward ini.

Gue menarik diri, menyudahi aktivitas mengoleskan obat merah agar bisa melihat mimiknya sambil mengangkat alis. Apa dia bilang begitu karena kecemburuannya soal sambutan Ibu tadi belum tuntas? Seriously?

"Kamu masih jealous?"

Dia menarik senyum, seperti mentertawakan asumsi barusan. Genggamannya belum terlepas dari pergelangan gue. Ehm ... come on, ini masih terlalu dekat. Lepasin dulu, kek.

"No. It's not like that. Cuma, Ibu kelihatan seneng sama kamu. I mean, Ibu emang orangnya ramah dan hangat, tapi pas sama kamu aku bisa rasain kehangatannya beda."

"Iyakah?"

Dia mengangguk singkat, lalu menundukkan mata. Seperti baru menyadari sesuatu, dia buru-buru melepas genggamannya dari tangan gue.

"S-sorry," katanya, terdengar kikuk.

Sudah gue duga bakal menjadi canggung. Gue diam sambil memasukkan obat merah dan kain kasa ke dalam kotak P3K. Pun dengannya yang nggak lagi mengeluarkan suara. Gambarannya seperti sepasang remaja tanggung yang pertama kali mengenal cinta.

Ck! Ini bukan seperti diri gue.

Beberapa detik dalam kecanggungan itu akhirnya pecah oleh dering ponsel Rinaldy. Ketika menatap layarnya dia berdecak, baru kemudian menjawabnya.

"Gimana?" tanyanya pada si penelepon. Nada bicaranya yang ketus membuat gue menoleh padanya.

Entah apa yang disampaikan orang di seberang telepon, gue lihat raut wajah Rinaldy tiba-tiba menjadi kaku. Genggamannya pada ponsel mengerat, terlihat dari telapaknya yang memutih. Dia diam beberapa saat dengan rahang yang mngeras. Ingin sekali gue bertanya ada apa dan kenapa, tapi melihatnya begitu, gue rasa timing-nya kurang pas.

It's okay, gue enggak akan terlalu ikut campur kalau memang termasuk privasi.

"Sorry, tapi bukan lagi urusan gue." Setelah mengatakannya dengan dingin, Rinaldy langsung memutus sambungan secara sepihak.

"Dhy, is everything okay?" tanya gue setelah dia melempar asal ponselnya ke sisi sofa yang kami tempati.

Dia hanya mengangguk ragu, lalu menyandarkan kepala ke punggung sofa. Air mukanya tetap enggak bisa bohong kalau semuanya ada yang enggak baik-baik saja.

"Mau cerita?"

Rinaldy terlihat menimang. Sorot matanya yang memandang langit-langit kamar meredup, mendung, kosong, tampak seperti tengah memikirkan suatu hal yang amat berat untuk diambil titik akhirnya.

"Dhis." Dengan lirih dia menyebut nama gue, tanpa menoleh untuk menatap gue.

"Ya?"

"Itu tadi ... soal Shandy," katanya kemudian, lalu menarik napas dalam. Ada jeda beberapa saat sebelum dia kembali melanjutkan, "D-dia di rumah sakit. Percobaan bunuh diri."

Oh, pantas saja. Ternyata nama Shandy masih memiliki pengaruh dalam perasaan Rinaldy.

Gue agak kaget mendengarnya. Apa ini karena dia patah hati sebab kekasihnya tiba-tiba sudah dalam ikatan pernikahan dengan perempuan lain?

"Terus, kenapa lo masih di sini?" Gue bertanya heran. Pasalnya, dia enggak langsung bergegas pergi menghampiri setelah dapat telepon tadi.

"Harus ke mana emang?" balasnya.

"Samperin, lah! Do something, Dhy! Mungkin aja dia begitu karena ... kita."

"Dan ninggalin kamu di sini sendirian? No."

______________
Bersambung. ☕

Pendek ya? 🤧

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang