7 - Who is She?

210 25 2
                                    

Jika umumnya orang lain lagi galau, mereka akan berkubang dengan suasana melow. Gue? Gue justru akan cari hal-hal yang menyenangkan.

Sore ini, setelah berbicara dengan Raka yang cukup banyak menguras emosi, gue putuskan untuk mencari pengalihan dari rasa yang masih memberat di hati.

Satu mata kuliah sore yang tersisa di hari ini gue tinggalkan. Kali ini tujuan gue sebelum benar-benar pulang adalah ... hunting mie instan.

Berada di Central Park di Tanjung Duren, gue masuk di salah satu tempat yang gue sebut seperti museum mie. Gila! Ini memang cocok jika disebut surganya para pecinta mie instan.

Di sini, di tiap sisi dan sudut tersedia ribuan macam mie instan dari lima negara. Mie dari negeri pancasila ini tentu saja ada. Dilengkapi dengan aneka jenis mie dari Singapura, Jepang, Thailand, juga Korea. Lengkap!

Gue mengambil keranjang jinjing, lalu berjalan pelan menyisir tiap rak di mana setiap kemasan mie instan yang berbeda berjajar rapi sesuai rasa dan jenisnya.

Kalau saja gue ke sini bersama Suketi dengan kondisi hati baik-baik saja, mungkin gue akan kegirangan dan heboh mengabadikan foto terlebih dahulu karena tempatnya yang lumayan instagenic dengan kaca cermin sebagai langit-langitnya. Sayang sekali. Gue ke sini cuma mencari pengalihan dari rasa yang menyesakkan.

Niat gue cuma mau ambil beberapa saja, tetapi ketika hendak menuju kasir, sadar-sadar gue kalap juga. Keranjang ini tanpa sadar terisi penuh dengan mie berkemasan merah dan hitam. Ya sudah, lah, ya kali gue balikin lagi.

Antrean kasir enggak begitu panjang. Dugaan gue enggak akan lama berdiri. Ada dua orang yang baris di depan gue. Satu anak SMA dan seorang wanita setengah baya di depannya. Sedangkan sang kasir masih melayani seorang pria muda.

Ck! Dugaan gue salah. Kaki gue udah pegal, tapi mas-mas di depan kasir masih belum juga selesai. Entah berapa banyak yang dia beli sampai selama ini.

Eh, wait! Dari punggungnya kelihatan familier.

"Adhy?"

Benar, dia menoleh. Pemuda yang lama di depan kasir dan tampak kebingungan itu ternyata Rinaldy.

"Adhisty!" celetuknya. "Untung ketemu kamu di sini. Anu ... bisa minta tolong?"

Melihat gestur Rinaldy yang menggaruk tengkuk, kayaknya dia merasa canggung mau bilang sesuatu sama gue.

"Kenapa?"

"Itu, Dhis, dompet aku tiba-tiba nggak ada."

"Dompet digital?"

"Saldonya kurang."

Dasar, ganteng doang, duit kurang.

Enggak ingin menambah lama antrean yang enggak seberapa ini, gue langsung maju sekalian menyerahkan belanjaan gue ke kasir. Beruntung keranjang Rinaldy enggak penuh seperti punya gue, bahkan enggak sampai seperempatnya. So, its okay.

"Kamu mau buka toko mie?" tanya Rinaldy tiba-tiba, ketika kami sudah berjalan menuju parkiran. Gue hanya berdecak malas menanggapi sindiran itu.

"Kamu ikut aku?" Dia lagi-lagi bersuara ketika melihat gue masih mengikuti di belakangnya.

"Nggak boleh nebeng, nih?"

"B-bukan gitu, tadi kamu ke sini pakek apa emang?"

"Pakek odong-odong!" Gue ngegas. "Motor gue dibawa balik sama Papa."

Rinaldy hanya mengangguk singkat sambil memundurkan motor. Kali ini si hijau Kawasaki Ninja RR. Bukan W175 seperti yang terakhir kali gue lihat. Sebenarnya agak ribet ikut bonceng Rinaldy dengan bawa tentengan yang enggak sedikit ini. Tapi, ya ... daripada keluar ongkos.

Shit moment-nya, di tengah polusi Jakarta yang 'sebersih' ini, Rinaldy cuma ada satu helm. Rambut panjang nan indah gue bisa bau asap dan debu. Apalagi saat ini sedang jam-jamnya macet. Dalam hati gue sudah uring-uringan setiap kali berhenti saat lampu merah dan motor Rinaldy hanya bisa maju pelan-pelan.

"Dhy, kira-kira ada berapa banyak orang Indo yang namanya Rinaldy?" tanya gue, mencoba mencairkan suasana yang menyebalkan ini.

Dia membuka kaca helm, lalu melirik sebentar ke arah gue dari kaca spion. "Kenapa harus kamu pikirin?"

Refleks gue mencebik mendengar jawaban Rinaldy. Jika yang gue ajak bicara seperti ini adalah Raka, dia akan balik tanya hal random lainnya untuk mengisi keheningan waktu selama di jalan. Mungkin yang akan dia tanyakan-sebagai balasan-adalah jumlah orang yang kebetulan memakai kaus merah saat CFD di Senayan, atau apalah yang bisa menjadi topik selama di jalan meski enggak penting diomongin sekali pun.

Hal-hal kecil yang seperti itu terasa manis dan menyenangkan bagi gue. Tetapi rasanya aneh ketika mencoba gue praktikkan sama suami gue.

Apakah enggak kurang ajar gue mencoba menjadikan Rinaldy sebagai pelarian? Bagaimanapun, ditinggalkan atau meninggalkan, rasanya sama-sama menyesakkan.

Gue ingin tahu, apakah benar kata orang jika obat dari patah hati adalah jatuh cinta kembali?

Gue ingin tahu, apakah ungkapan itu memang benar terbukti efektif untuk mentas dari zona gagal move on, atau ungkapan itu hanya bacotan ampas dari mereka yang ingin terlihat keren dengan langsung punya gandengan setelah merasa hatinya terpatahkan.

"Dhy, lo punya cewek nggak, sih?"

"Kenapa? Kamu mau nyoba suka sama aku?"

"Boleh emang?" Gue bertanya iseng.

Terdengar decak kasar darinya. "Nggak usah ngadi-ngadi. Ribet nanti kalau kamu jadi jatuh cinta sama aku."

Dih, seyakin itu.

"Lagian, pacar kamu yang semalem kurang apa?" tanyanya lagi.

"Kalau bisa dua, kenapa enggak?"

Rinaldy enggak membalas candaan gue. Dia fokus pada jalanan yang mulai mengalir lancar perlahan. Kami kembali terjebak dalam keheningan sampai sisa perjalanan pulang. Gue juga bingung mau angkat tema apa lagi untuk diomongin.

"Dibawain, kek," gerutu gue ketika kaki kami sudah memijak lobi depan.
Rinaldy langsung menoleh, lalu tersenyum tipis ke arah gue dan berkata, "Sorry." Dia mengambil alih kantung belanjaan dari tangan gue.

Di dalam lift, gue menatap pantulan diri kami di dinding lift yang mengilap. Sosok Rinaldy yang tinggi tegap membawa kantung belanjaan, begitu pas dengan tinggi gue sebatas telinga di sisinya yang menemani. Potret sepasang suami istri sepulang belanja bulanan.

Lucu. Gue membayangkan adegan-yang seharusnya, sih, manis dan romantis-seperti ini bersama Raka di masa depan. Namun, kenyatannya bukan dia yang saat ini menjadi partner gue dalam pembuatan buku nikah.

Sampai lantai dua puluh dua, Rinaldy melangkah lebih dulu begitu pintu lift terbuka. Dari sikapnya, entah dia lagi badmood atau mungkin memang perangainya yang kalem dan banyak diam seperti itu. Beda dengan gue yang lebih banyak cakap dan suka pecicilan.

"Astaga, lupa! Kuncinya di dompet," celetuk Rinaldy setelah sampai di depan pintu unit kami. "Sebentar, aku ke resepsionis dulu." Dia memberikan kantung berisi berbagai mie instan itu pada gue.

Baru hendak berbalik dan melangkah, kami berdua terkejut dengan pintu apartemen yang tiba-tiba terbuka dari dalam. Sosok Bang Satya lalu muncul di baliknya.

"Bang Satya? Kok lo-"

Sama seperti gue, Rinaldy juga menampakkan mimik bertanya-tanya.

"Masuk aja dulu," potong Bang Satya dingin seraya melebarkan pintu. Dari situ gue bisa lihat jika di belakangnya ada seorang cewek cantik berambut panjang.

Lah, tempat orang seenaknya saja dibuat ngapel.

"Shandy?"

Gue auto-nengok ke arah Rinaldy. Ternyata mereka saling kenal. Namun, setelah gue amati singkat, reaksinya justru lebih terkejut lagi dibanding ketika melihat abangnya tadi.

Who is she?

______________
Bersambung. ☕

Tadinya mau kasih note author setelah kata bersambung. Biar kayak Otor yang laen gitu. Tapi kok ya bingung mau ngomong apa. 👀

Stay save ya, Guys. 🧡

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang