Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya.
🌟.
"Dia siapanya Adhy, Bang?" tanya gue setelah penjelasan singkat dari Bang Satya tentang kedatangannya untuk mengantarkan dompet Rinaldy yang tertinggal di kantornya siang tadi.
Sekarang, Rinaldy di ruang tengah bersama cewek yang dia panggil Shandy tadi. Sementara posisi gue sedang berada di balkon. Duduk di kursi rotan sambil menatap kerlip lampu ibu kota dari ketinggian gedung ini. Bang Satya di sebelah kiri, ada meja bundar kecil di antara kami. Di atasnya, seikat bunga tulip imitasi berwarna kuning berdiri anggun dalam vas keramik putih, ditemani dua gelas mango juice.
Ya, minuman dingin untuk kunjungan yang sekiranya singkat, dan minuman hangat untuk kunjungan yang gue harap lama.
"Ceweknya," jawabnya seraya menyalakan sebatang rokok, menyesapnya dengan santai, lalu mengembuskan asapnya ke atas.
Gue refleks mengibaskan tangan ke depan wajah, menghalau aroma asap dari lintingan tembakau yang dibakar itu. Baunya kontras banget dengan wangi parfum Bang Satya yang begitu menyengat. Gue curiga, satu botol itu dia gunakan untuk satu setel pakaian. Berlebihan.
Gue menoleh ke belakang, tepatnya menoleh ke ruang tengah di mana Rinaldy tengah duduk menghadap ceweknya yang dia panggil Shandy tadi. Dinding kaca yang menjadi sekat enggak bisa membuat gue mendengar apa yang mereka bicarakan. Gue hanya bisa melihat ekspresi keduanya, tampak sedang bersitegang.
"Udah berapa lama?"
"Ck! Tanya aja sama orangnya," jawabnya ketus.
Ah, sialan. Andai membunuh orang tidak dosa, andai Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan disengaja itu tidak ada, gue berani jorokin Bang Satya dari lantai dua puluh dua ini.
"Bang Satya ngapain masih di sini, sih?"
"Lo kenapa kepo banget, sih?"
"Bukannya gue kepo, urusan Abang buat ngaterin dompetnya Adhy udah kelar, 'kan? Terus mau ngapain lagi?" tanya gue menyindir. Kalau dia peka, akan merasa jika sedang diusir.
"Terserah gue, lah," balasnya sambil lalu.
Wah, sumpah, Bang Sat bikin keki setengah mati. Gue tanya baik-baik, Bang Sat!
Dengan keras gue mengentakkan kaki ke lantai, lalu bangkit, berniat masuk untuk menjauh dari sumber yang membuat tensi darah naik.
"Heh, mau ke mana lo?"
Belum sempat gue menggeser pintu kaca itu, Bang Satya menarik ujung kemeja gue. Cukup kencang sampai gue terduduk kembali.
"Apa, sih?" protes gue bersungut-sungut.
"Lo mau ngapain ke dalem? Jangan ganggu mereka. Biarin dulu mereka selesein bicara. Kayaknya lagi masalah. Kalau lo masuk, kemungkinan malah nggak akan kelar-kelar masalahnya," jelasnya sambil menjetikkan jari, menjatuhkan abu rokok yang sudah cukup panjang menutup baranya.
"Sok tahu banget lo, Bang. Lagian gue cuma lewat, kali."
"Lo bego juga, ya, jadi cewek," katanya. "Lo nggak lihat muka mereka pada busuk semua?" lanjutnya. "Kalau lo masuk sekarang, apa lagi dengan cara kasar kayak gitu, perhatian mereka otomatis langsung beralih ke lo yang buka pintu. Fokus mereka jadi buyar entar. Besar kemungkinan ceweknya udah nggak mood buat lanjutin obrolan yang lagi serius. Berani taruhan? Ini juga ada sangkut pautnya sama lo."
Gue mengernyit. "Kenapa gue?"
Bang Satya langsung menoleh, menatap gue dengan sorot mata penuh penilaian. Dia kembali mengisap rokok yang sudah terbakar setengah batang, lalu mematikannya begitu saja di permukaan meja. Gila! Gue baru sadar jika sedari tadi abu rokoknya dibuang begitu saja di atas meja.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Freaky Wedding
Roman d'amourBagaimana jadinya jika kamu dinikahkan paksa karena kepergok berzina, sementara lelaki yang akan menjadi suamimu itu belum kamu kenal sama sekali? Ini kisah tentang nasib nahas Adhisty Irawan. Gadis yang masih berstatus mahasiswi harus dinikahkan p...