10 - Cewek Baru

208 25 10
                                    

Jangan lupa tekan bintangnya.
Selamat membaca.

.

"Adhy?"

Dia hanya mendengung menanggapi gue yang kaget melihat dia pagi-pagi begini meringkuk di sofa. Mungkin karena menyadari keberadaan gue, dia akhirnya menarik diri, mengambil posisi duduk.

"Muka lo pucet banget. Sakit?"

Dia enggak menjawab, hanya mengucek mata. Rambutnya berantakan, wajahnya kuyu, bahunya juga terkulai lemas. Gue yang tadinya berniat mengambil air minum, kini menghampirinya. Gue letakkan punggung tangan ke dahi Rinaldy, lalu beralih ke pipinya. Normal. Enggak panas.

"Lo nggak apa-apa?" tanya gue sekali lagi. Melihat dari penampilannya sekarang, tampaknya jelas sedang enggak baik-baik saja. Tapi, dia justru memberi anggukan ringan.

"Nggak apa-apa," katanya. Namun, setelahnya dia justru mengerang dengan tangan yang memeluk perut. Buru-buru dia bangkit, lalu melesat masuk kamar.

Gue yang bingung, penasaran, juga sedikit khawatir lantas menyusulnya sampai batas depan pintu. Enggak ada suara dari dalam, lalu gue mengetuk pintunya.

"Dhy, lo beneran nggak apa-apa?" Masih enggak ada sahutan. "Dhy, gu-"

Dering ponsel dari ruang tengah spontan membuat perhatian gue teralihkan. Bukan nada dering milik ponsel gue, artinya itu dari ponsel Rinaldy. Gue mengayun langkah ke sana, lalu meraih ponsel Rinaldy yang tergeletak di atas meja. Tertera panggilan masuk dengan nama kontak Anak Bajang.

"Hp lo bunyi, Dhy."

Ketika enggak ada sahutan, gue kembali mendekat ke depan pintu kamarnya dan mengetuk lebih kencang.

"Gue masuk, ya?"

Karena enggak ada jawaban, perlahan gue mendorong pintunya yang ternyata enggak terkunci.

Sejenak gue terpana dengan kondisi kamarnya yang rapi. Perhatian gue tertarik pada buku-buku berjajar rapi yang disusun sesuai tingginya di rak berpelitur putih yang menempel di sisi kiri. Tanpa sadar gue mendekat. Kebanyakan buku tentang ilmu ekonomi, akuntansi, bisnis, manajemen, kewirausahaan, dan lainnya yang menyangkut hal-hal itu.

Ponsel Rinaldy yang kembali berbunyi setelah beberapa detik yang lalu mati, membuat gue kembali sadar dari keterpanaan. Dan bunyi siraman air dari kamar mandi sudah mewakili jawaban gue kenapa Rinaldy dari tadi enggak menyahuti.

"Dhy, ada telepon."

"Dari siapa?" tanyanya setengah berteriak dari dalam sana.

"Anak Bajang."

"Bisa kamu angkat? Minta tolong, bilang kalau aku kayaknya nggak bisa ke kampus."

Gue mengangguk, meski tahu dia enggak akan melihatnya. Lekas gue menggeser tombol hijau, menerima penggilan si Anak Bajang ini. Suara berisik para lelaki langsung menyambut telinga gue.

"Woi, Adhy! Buset! Lama amat angkat telepon gue."

Suara berisik tadi menjadi pelan. Agaknya si Anak Bajang beranjak menjauh. Tapi kemudian berganti suara mesin motor yang dinyalakan dan melaju pelan.

"Eh, anu, sorry, Bang, ini bukan Adhy. Yang punya hp lagi di kamar mandi."

"Ng ... Shandy, ya?" tebaknya ragu-ragu.

"Bukan. Gue bukan Shandy." Orang di seberang sana terdengar terkejut. "Aduh, nggak penting, sih, gue siapa. Gue cuma mau bilang kalau Adhy nggak bisa ke kampus. Dia nggak enak badan,"

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang