Bagian 22

3.1K 306 42
                                    

Prilly mengompres dahi Ali dengan telaten. Suhu tubuh Ali sekarang tidak main-main bahkan sangat tinggi melebihi suhunya. Beruntung petugas apartemen melintas di depan dan membantunya untuk menggotong Ali masuk ke dalam. Prilly mengelus pipi Ali dan tersenyum hangat.

"Cepet bangun ya, suami."

Sebelumnya ia sudah memanggil dokter untuk datang ke apartemen, bukan dokter dari Rumah Sakit tempat Ali bekerja melainkan Rumah Sakit lain, karena takutnya semua orang akan mengetahui jika Ali sudah menikah dengan gadis murahan sepertinya.

"Bosen juga nungguin Ali bangun, mending belajar masak. Mumpung gue lagi gak mager." Tangannya terangkat untuk mengusap rambut Ali dan berlalu untuk menyiapkan makanan yang semoga saja enak untuk di makan.

"Tumben banyak, siapa yang belanja coba? Mana mungkin si dokter resek. Bodo amat dah, dari pada laper," ujar Prilly pada dirinya sendiri.

Semua bahan telah ia kumpulkan di meja bar mini. Prilly takut-takut jarinya tergores atau apalah saat memotong bawang merah yang membuat matanya perih.

"Tahan-tahan, Illy. Demi suami lo, masa nyusahin dia terus," gumamnya.

"Aw, ribet amat!" gerutu Prilly saat pisau itu menyayat sedikit jarinya bahkan darah banyak berceceran dan terpaksa ia harus mengulang kembali.

Beberapa jam kemudian- Prilly menyandarkan punggungnya di kursi sambil melihat hasil masakannya yang lumayan lah untuk dimakan dari pada hasil yang kemarin-kemarin. Hanya sayur sop dengan tahu tempe yang menjadi pelengkapnya, itu pun banyak yang gosong. Prilly memisahkan nasi, sayur sop, dan tahu tempe ke dalam nampan untuk Ali.

"Semoga dia suka."

Walau penampilannya jauh dari kata rapih, Prilly membuka secara perlahan kamar suaminya walau kesusahan dengan adanya nampan di tangannya.

"Hello, sayang. Udah bangun?" tanya Prilly lebay dan basa-basi.

Ali memutar matanya malas mendengar pertanyaan basa basi dari Prilly. Prilly menarik kursi dan duduk di samping Ali.

"Lebay!" celetuk Ali membuat Prilly mendengus kesal.

Ali melirik makanan yang tengah dibawa oleh Prilly. "Kenapa gak bubur?" tanya Ali heran.

"Gini ya, pak dokter. Saya juga pernah sakit seperti Anda dan saya rasa Anda gak bakalan suka makan bubur di saat lagi sekar-----"

"Sakit," potong Ali.

Prilly menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ia menyodorkan sendok berisi sayur sop dan juga tempe pada Ali dan menerimanya dengan perasaan was-was takut diracuni olehnya. Prilly menatap Ali dengan perasaan khawatir, takutnya makanan yang ia buat kembali tak enak.

"Gimana?" tanya Prilly was-was.

"Hm."

"Hm apa?"

"Lumayan."

"Lumayan enak?"

"Lumayan asin."

Prilly langsung menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya. Perasaan rasa sopnya tidak terlalu asin karena ia menyamaratakan dengan bumbu-bumbu lain. Prilly mencibir Ali yang masih saja tersenyum puas walau pun sedang sakit. "Hari ini gak usah ke Rumah Sakit, lagian situ kan lagi sakit ya. Takutnya malah nularin sana-sini," kata Prilly tanpa melihat ke arah Ali.

"Hm."

Prilly kembali menyuapi Ali yang banyak diam dan tidak banyak bacot tentunya. Prilly terhenyak saat sebuah tangan menariknya.

"Saya butuh pelukan kamu."

"Pelukan?" batin Prilly.

Entah kenapa otaknya malah tiba-tiba loading saat Ali meminta sebuah pelukan. Prilly meletakan mangkuk itu di atas nakas lalu merangkak menaiki ranjang Ali. Prilly membaringkan tubuhnya di samping Ali dan jantungnya semakin berdebar saat sebuah tangan menariknya ke dalam pelukan hangat.

MY DOCTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang