Bagian 7

2.6K 230 4
                                    

Prilly memoleskan lipbam pada bibir tipis miliknya. Hari ini ia berencana akan menemui Ali dan memintanya untuk menemaninya membeli cincin pernikahan. Mana mungkin ia memakai cincin pernikahan orang lain, tak se- level dengannya walau ia sangat menyukai cincin itu.

"Oke, Illyana. Penampilan lo udah oke. Sekarang kita, cussss." Prilly mengambil slingbag berwarna pink miliknya. Ia sangat bersemangat menemui Ali dan mempersiapkan segala pernikahannya bersama.

Tentu saja mengajak Ali untuk memenuhi semua persyaratan pra-nikah. Terlebih ia harus menemui RT-RW setempat untuk memenuhi persyaratan. Dan, jangan lupakan. Ia harus ke KUA untuk mendaftar yang mungkin saja dalam 3 hari pernikahan itu akan berlangsung.

Benar-benar melelahkan.

"Illyana. Lebih baik kamu hentikan semua ini. Sebelum terlambat, Nak. Papa gak mau kamu menderita menikah dengan orang yang tak se-pendapat dengan kamu," kata Arya.

Prilly menghentikan langkahnya. "Illyana bisa urus semua sendiri, Pa. Papa cukup diem aja. Illyana lagi berusaha mandiri tanpa harta Papa. Aku gak mau terus-menerus kayak Anak kecil yang selalu bergantung sama Papa. Biarin aku kayak gini, Pa," balas Prilly, tanpa menoleh pada Arya.

Arya benar-benar tak menyangka sifat keras kepala mendiang istrinya turun kepada Putri satu-satunya. Arya memijit kepalanya sendiri, Prilly benar-benar sulit untuk diajak berkompromi.

Pernikahan bukan main-main. Arya hanya ingin, Putrinya menikah satu kali dalam hidupnya, bukan seperti ini.

"Aku pergi, Pa."

Arya mengangkat tangannya dan hendak berkata, namun Prilly malah mempercepat langkahnya dari pada harus mendengar semua perkataannya.

"Lihatlah Putri kebanggaanmu itu. Sangat persis sepertimu," batin Arya.

Dilain tempat---------- Prilly menatap angkuh pada orang-orang yang menatapnya. Prilly tentu saja acuh dengan tatapan aneh itu. Ia memasuki ruangan Dokter Ali tanpa meminta izin terlebih dahulu, bodo amat ini adalah ruangan calon suaminya sendiri.

"Apa kamu tidak mempunyai tata-krama?" tegur Ali.

Bukannya menjawab, Prilly malah tersenyum ceria dan langsung melangkah menghampiri Ali.

"Hmmm, tata-krama ya? Kayaknya udah aku kubur deh. Zaman sekarang, tata-krama udah ilang ha ha ha ha," tawa Prilly. Ali menatap jam tangan hitamnya, sudah waktunya jam istirahat. Ia melepaskan jas Dokternya.

"Mau kemana? Bukannya hari ini kita mau memenuhi persyaratan pernikahan?" tanya Prilly, tangannya menyentuh tangan Ali, namun Ali menepisnya.

"Saya tak ada waktu untuk terus-menerus bersama kamu. Cepatlah!" jawabnya tanpa menoleh pada Prilly.

Prilly merenggut, benar-benar menyebalkan. Prilly berusaha menyamai langkahnya dengan Ali, namun tetap saja langkahnya terlalu pendek untuk menyamai dengan Ali.

"Dokter Al, mau kemana?"

"Saya ada urusan diluar."

Prilly memiringkan kepalanya untuk melihat orang yang tiba-tiba saja mencegah Ali.

"Dokter Irene," batin Prilly.

Irene tersenyum ramah pada Ali. "Boleh bareng? Kebetulan saya mau beli chocolate cup didepan," kata Irene.

Pupil Prilly melebar, ia langsung berdiri disamping Ali dan menatap angkuh pada Irene.

"Dia ada janji sama saya. Yuk? Gak ada waktu." Prilly menarik Ali untuk segera pergi meninggalkan Irene yang menatapnya tak mengerti.

MY DOCTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang