Chapter 10

23.7K 4.1K 1.5K
                                    

Haloo... akhirnya bisa kembali update lagi setelah lima hari 🥺🙏🏻

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu.


Happy Reading




***
Dengan langkah panjang, Rafel membawa tubuh Aiyana ke arah mobil—meninggalkan kekacauan yang telah diciptakan. Di sana, asisten pribadinya sudah membukakan pintu dan mempersilakan keduanya masuk.

Kepala Aiyana dibaringkan di atas pangkuan Rafel, sementara tubuhnya yang kotor diselimuti menggunakan coat tebal yang semula dikenakan. Udara malam ini memang benar-benar gila, teramat dingin, ditambah kabut dan asap pekat di luar berasal dari rumah Disan memperparah keadaan sekitar. Tampaknya para penduduk juga sudah terlelap pulas sehingga belum ada yang menyadari kebakaran ini. Semoga anak buahnya segera enyah dari tempat ini sebelum ada yang tahu.

Dalam diam, Rafel menunduk—memerhatikan paras gadis itu yang terlihat pucat pasi. Bibirnya seolah tak teraliri darah, membiru, napasnya pun terdengar melambat. Memegang wajah Aiyana untuk mengecek, ia mendecak samar, suhu tubuhnya benar-benar terasa panas. Dia demam.

"Anak ini sakit," Rafel menggumam, terdengar oleh asistennya yang baru saja masuk ke dalam mobil. "Hubungi Dokter Fred dan perintahkan orang rumah untuk menyiapkan kamar."

"Di lantai basement?"

Menatap lekat, tangan Rafel masih bertengger di dahi Aiyana, berpikir sesaat. "Jangan. Di dekat kamarku, agar aku lebih mudah mengeceknya."

"Di ... ruangan pribadi Anda?" Asisten itu memastikan lagi, tidak yakin. "Lantai kamar Anda?"

Rafel mendongak, menatap jengah. "Telingamu pasti masih berfungsi dengan baik, bukan?"

Buru-buru, dia mengangguk. "Baik, tuan."

"Kita berangkat dan lajukan dengan cepat. Bocah ini sepertinya demam."

Mengamati bosnya di kursi belakang sejenak lewat kaca spion, dia mengernyit. Mengapa Rafel harus tampak khawatir? Padahal tujuan awal Bos-nya ke sini untuk membalaskan dendam dan membuat dia menderita. Seharusnya biarkan saja dia sakit. Toh, itulah yang dia inginkan.

"Apa yang kamu tunggu?" tanya Rafel lebih tajam. "Berangkat!"

Dia segera mengalihkan pandangan. "Maaf, tuan."

Mobil mulai dilajukan, membelah jalanan Puncak yang amat sepi ketika waktu telah menyentuh ke angka satu dini hari.

Sepanjang perjalanan setelah memasuki kawasan kota, sesekali Aiyana akan merintih, tangannya gemetar dan dia terlihat ketakutan. Dengan kedua mata yang masih terpejam, dia tampak gelisah dalam lelapnya. Jelas, kejadian brutal beberapa saat lalu pasti seperti mimpi buruk bagi Aiyana. Dia terdengar amat putus asa ketika memohon untuk dibiarkan menerobos nyala api untuk menyelamatkan Bapaknya.

Memang ini yang Rafel inginkan. Melihat dia terluka dan putus asa—seperti dirinya dan adiknya yang harus mendengar dan menyaksikan sendiri sosok yang paling disayangi terpanggang, tetapi tak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan.

"Tuan, apa perlu kita bawa dia ke Rumah Sakit?" tanya Asistennya. "Saya sudah coba hubungi Dokter Fred, beliau belum mengangkat."

"Tidak perlu. Terus coba hubungi, dan suruh langsung ke rumah jika sudah tersambung."

"Baik, tuan."

Rafel meraih tangan Aiyana yang gemetar dan terasa dingin, mau tidak mau menggenggam keduanya untuk memberi dia sedikit kehangatan agar dia baikan. Aiyana tidak boleh mati secepat ini. Ia baru saja akan memulai, akan sia-sia rasanya jika sekilat ini urusan mereka selesai. Ia juga ingin melihat Aiyana dinyatakan sebagai tersangka dan membusuk di penjara—setelah semua bukti terkumpul dan dia mengakui kebakaran itu adalah ulah cerobohnya.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang