Chapter 4

20.7K 3.5K 720
                                    

Halooo... ada yang masih menunggu? 🥺🥺

Baru banget selesai. Jika ada typo atau kalimat rancu, mohon koreksinya ya 🙏🏻



Happy Reading



***
Di tengah cuaca dingin yang teramat menusuk kulit, Rafel malah tengah bertelanjang dada—baru saja selesai berolahraga. Tubuh tinggi tegap dengan sixpack delapan bagian yang nyaris terbentuk sempurna di usia yang baru dua puluh dua tahun, kini telah dibanjiri keringat. Sejak kecil, ia selalu menyukai berbagai jenis olahraga dan beladiri sehingga otot-ototnya telah terbentuk sejak lama. Bahkan sejak masa SMA, tubuhnya selalu paling mencolok di antara anak lain. Memiliki tinggi 192 sentimeter, jelas itu bukanlah hal yang lumrah di kalangan lelaki Indonesia. Proporsi tubuh yang sempurna, dengan garis wajah tegas nan manly—sehingga dianggap terlalu dominan dan menakutkan oleh sebagian orang. Mereka selalu merasa terintimidasi, padahal ia cuma diam saja dan mengamati, tidak melakukan apa-apa yang akan menyakiti.

Lower abdomen Rafel yang membentuk V-cut tegas, kini terlihat jelas sebab celana sweatpants yang dikenakannya terlalu turun sampai memperlihatkan bulu-bulu halus yang jatuh pada kejantanannya. Diraihnya air dingin di botol, Rafel menenggak sampai tandas sambil menatap kegelapan pekat di luar.

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, tetapi suasana di sekitar villa sudah sepi ketika ia menginjakkan kaki di beranda kamarnya—menyaksikan pemandangan sekitar yang terlihat asri dan tenang. Dari satu rumah ke rumah lain, jaraknya berjauhan dan mereka juga tidak memasang lampu terang. Hanya cahaya bohlam kuning kecil di bagian depan rumah.

Rumah warga yang paling dekat dari villa, hanya milik Disan. Berdiri di sini, ia bahkan bisa melihat jelas mereka yang berada di dalam lewat dua jendela rumah sederhana itu yang masih terbuka. Rumah pekerjanya itu pun sedikit lebih rendah dari villa-nya. Tetapi, mereka memang berada di dataran paling tinggi dibanding rumah lain. Saat melemparkan pandangan ke sisi lain, maka pemandangan seluruh kota di bagian bawah yang dipenuhi hamparan lampu-lampu, terlihat menakjubkan.

Rafel memicingkan mata, sedikit membungkukkan punggung untuk menumpukan dua siku di pembatas pagar besi beranda ketika melihat bocah yang tadi siang memergokinya berciuman di taman, keluar dari rumah itu dengan satu bak hitam yang jauh lebih besar dari tubuhnya.

Untuk apa anak itu tengah malam malah keluar rumah?

Dan ternyata, dia hendak mengangkat jemuran dari seutas tali yang membentang dari ujung satu ke ujung lain. Aneh, mengapa keluarga itu tidak membeli jemuran besi saja agar lebih praktis?

Gelap disertai suara hewan sekitar, tampaknya tidak sama sekali membuat Aiyana ketakutan. Dia seperti sudah terbiasa dengan kegiatan itu, dan selesai mengangkat semuanya, anak itu duduk di bale-bale kayu, lalu melipat semua pakaiannya. Lagipula, yang benar saja. Pukul segini anak sekecil itu malah harus mengangkat pakaian kering di luar sendirian. Ke mana semua orang dewasa di dalam? Sungguh keras kehidupan yang harus dijalani untuk kalangan bawah.

"Kak...,"

Saat Rafel masih mengamati kegiatan anak itu, suara lembut Tyas terdengar di belakang punggungnya.

Ia membalik badan, menautkan alis ketika pintu dikunci dari dalam olehnya. Tidak menggubris berlebih, Rafel kembali memutar badan untuk melihat ke depan. Hanya tidak berselang lama, Tyas memeluk punggungnya dari belakang—hingga buah dadanya menekan hangat punggung telanjang Rafel.

"Kuharap kamu masih ingat perkataanku tadi siang."

Ucapan singkat yang terdengar dingin itu, tidak sama sekali membuat Tyas sudi menjauh. Ia malah mengeratkan dekapan, sesekali mengelus lembut perut Rafel yang rata dan keras.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang