Chapter 1

65K 4.7K 736
                                    

Halooo... apa kabar semuanya? 🙌🏻 Sudah lama nggak nyapa kalian di sini. Kangennn 🥺 Mudah-mudahan kalian semua dalam keadaan sehat dan bahagia ❤️

Hari ini kita mulai lagi kisah lain, dan ini keluar dari Xander ... akhirnya. Move ke keluarga sebelah. Pasti sudah tahu kan cerita ini akan mengisahkan perjalanan siapa hihi 🤭

Mohon koreksinya kalau ada typo atau kalimat rancu 🙏🏻

Happy Reading



***
Hujan deras mengguyur daerah Puncak malam itu. Tubuh kurus yang tengah hamil besar itu tampak tak berdaya dalam gendongan Kakaknya—mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya dengan tangan yang bergetar. Berulang kali, ia merintih, sesekali air mata jatuh berbaur dengan derasnya rinai hujan.

Jalanan berlumpur dan licin, membuat helaan langkah Disan kesulitan menapaki setiap pijakan. Napasnya ngos-ngosan, tulang kaki mulai terasa nyeri tetapi tetap dipaksakan terus berjalan, sebab ia tahu, ia tidak bisa berhenti di sini. Adiknya membutuhkan pertolongan medis segera. Dia sudah terlihat pucat pasi, dengan pandangan sayu dan kosong.

"A, sakit," Mesya menangis, menjadi remasan tak tertahankan pada perut ketika tubuhnya tengah diobrak-abrik dari dalam oleh janin kecilnya, seakan sudah tidak sabar untuk melihat dunia. "Ya Tuhan, nak...."

Sakit hati Disan mendengar rintihan kesakitan adiknya. Andaikan ia punya kekuatan lebih untuk membawanya secepat mungkin dari sini. Ia terus berusaha mempercepat, meski ia mulai menggigil kedinginan. Hanya tidak berselang lama, ia meringis—ketika kakinya tak sengaja menginjak pecahan beling dan berhasil menyobek kulit tepian telapaknya.

"Aa kenapa?" suara tanya itu terdengar parau, di antara rintihan pilunya.

Disan menunduk, tersenyum kecil menenangkan. "Nggak kenapa-napa, Ca."

Mesya tahu sesuatu baru saja menyakiti tubuhnya—entah apa. Tetapi beliau tetap berjalan dan terus berjalan menuruni jalanan landai dan tanah berlumpur yang seakan tak berujung. Sejak kecil, mereka begitu dekat, bahkan dia seperti figur seorang Ayah karena Ayah mereka sudah meninggal saat Mesya masih kecil.

"Semoga ada mobil yang lewat," harap Disan sambil terengah kepayahan. Tidak dirasakannya luka robek di kaki, membiarkan darahnya terus mengalir dan menyatu dengan lumpur pekat. "Seharusnya kamu telepon Aa sejak sore kalau perut kamu sakit lagi! Kenapa malah membiarkan diri kamu menderita sendiri?!"

Keadaan sudah sepi, dan kabut pun menutupi pandangan sepanjang perjalanan. Mencari kendaraan yang bisa ditumpangi ke Puskesmas tidak lah mudah, malah mendekati nihil. Apalagi warga sudah diperingatkan oleh pemerintah daerah setempat agar tidak naik dulu mengingat hujan dan kabut yang semakin parah beberapa hari ini.

Dia mengomel, tetapi Mesya tahu itu hanya bentuk dari rasa khawatirnya yang teramat sangat. "Eca nggak mau terus merepotkan Kakak dan Kak Lina. Kalian ... kalian sudah banyak memban—tuku."

"Maaf, Aa baru berani jemput kamu sekarang."

Tetes demi tetes air mata Mesya terus berjatuhan, kini hatinya pun ikut terluka melihat beliau sekuat tenaga membawanya untuk mencari pertolongan. "Maaf, sudah selalu ... merepotkanmu. Maaf, A,"

Disan semula sengaja datang untuk menjemput sang Adik di rumahnya yang keadaannya seminggu ini memang sudah lemah, dikejutkan oleh tubuh Mesya yang terkapar di lantai—sendirian, tengah menangis, seraya mendekap botol minum kosong. Di rumah itu, dia tinggal seorang diri, tanpa suami ataupun seseorang yang secara sukarela mau mengurusi. Sementara istrinya tidak memperbolehkan dirinya membawa Mesya tinggal satu atap bersama. Baru malam ini, ia memberanikan diri untuk menjemputnya meski risikonya sang istri akan murka. Ia tidak punya pilihan. Ia tidak tega membiarkan Mesya menanggung sakit ini sendirian.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang