Chapter 33

20.8K 3.6K 1K
                                    

Halooo... maaf ya baru bisa update. Lagi doyan rebahan banget, nggak ngerti lagi 🥺🤦‍♀️😭 Nggak kerasa, eh udah sembilan hari aja dari terakhir update. Siapa yang udah terbiasa nungguin dengan sabar? 🤭 Wacana update dua kali seminggu bubar jalan 🤧🤧🤧

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu.


Happy Reading


***
Tidur Aiyana terusik, ketika kasur di bagian belakangnya bergerak, disusul oleh dekapan hangat pada tubuhnya. Perlahan, ia membuka mata, melihat blazer dan kaus Rafel sudah teronggok di lantai. Lelaki itu bisa dipastikan sekarang tengah bertelanjang dada.

"Aku pulang," kata Rafel serak, kian mengikis jarak hingga tubuh mereka menempel. "Maaf terlambat."

Seolah tahu betul kalau kini Aiyana terjaga karenanya.

"Jam berapa ini?" tanya Aiyana, berusaha menggali kesadaran, padahal tidurnya baru saja pulas.

"Setengah tiga dini hari."

"Apa urusan pekerjaanmu dengan Kayla baru selesai jam segini?"

"Sudah dari sore."

"Aku mengerti."

"Tidak ingin menginterogasi lebih banyak lagi, Ai?" Rafel membenamkan kepala pada tengkuk Aiyana, menghidu aromanya dalam-dalam diakhiri kecupan pelan. "Aku akan menjawabnya."

"Tidak ikut campur pada urusanmu sudah tertulis jelas di kontrak."

Rafel tersenyum tipis, mengeratkan dekapan di perutnya. "Ya, betul. Tapi, aku berharap untuk saat ini calon istriku bersikap posesif padaku."

"Apa menyenangkan?"

Rafel diam sejenak, sebelum mendeham pelan. "Iya, aku selalu suka berada di samping perempuan itu. Semua lelaki juga, aku hanya salah satu lelaki normal di hidupnya yang menikmati kebersamaan kami berdua. Jadi ... ya, ini menyenangkan."

"Apa tujuanmu mengatakan semua itu?"

"Agar kamu tahu saja. Aku sedang bercerita."

"Tapi, aku tidak peduli."

"Untuk apa bertanya jika kamu tidak peduli?"

"Karena kamu ingin aku interogasi. Tapi sebenarnya, aku tidak peduli sama sekali. Aku tidak berharap mendengar apa pun tentang perempuan itu, termasuk namanya. Basa-basi, tapi bukan itu jawaban yang aku harap dengar."

Rafel tercengang mendengar jawabannya, mengangkat kepala untuk melihat Aiyana, lantas menarik pipinya agak kesal. "Aiyana, kata-katamu ... menyebalkan!"

"Tidak seharusnya kamu berkata sejujur itu pada perempuan yang kamu anggap calon istri. Berbohong sedikit tidak akan membuat tubuhmu cidera."

"Sejak kemarin kamu bersikap terlalu dingin, Ai. Aku yang sulit untuk beradaptasi. Meski...," Rafel menggantung kalimatnya, lalu membalik tubuh Aiyana dengan mudah agar menghadap ke arahnya, "...aku menyukainya."

Aiyana menyeringai kecil, dan Rafel segera mengecupnya singkat.

"Seringai meremehkan kamu membuat dirimu terlihat seksi. Dan secara jujur, aku ingin mengatakan bahwa aku suka—dinginmu atau hangatmu. Aku rindu sikap kekanakanmu, tapi aku juga suka ketika kamu bersikap selicik ini padaku. Keep going, baby, aku menikmati permainanmu."

"Kamu berbicara terlalu banyak sejak kemarin. Aku pun sedang beradaptasi. Kalimatmu kadang membuatku berpikir."

Rafel merapikan surai rambut Aiyana yang berantakan, menyelipkan ke belakang telinga. "Aku lapar," ucapnya serak. "Aku benar-benar lapar sekarang."

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang