Chapter 20

25.6K 3.6K 1.3K
                                    

Haloo... akhirnya setelah dua minggu lebih bisa update lagi 🥺 Siapa yang dari kemarin bolak-balik nungguin notif? 🙏🏻

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu.

Happy Reading

***
Rafel mengikuti Aiyana dari belakang, berlarian cepat ketika melihat gadis itu hendak menutup lift-nya tanpa sudi menunggu.

"Shit, Aiyana! Tahan!"

"Cepet, cepet ketutup!" berulang kali, Aiyana menekan tombol lift bahkan menggunakan dua tangannya. "Cepetan. Cepetan...!"

Aiyana agak lega melihat lift sudah perlahan tertutup, tetapi hanya sekitar dua senti lagi, tangan Rafel masuk di antara sela-sela dan menahannya. Terbuka lagi, gadis itu mundur seraya mendesah lemah. Ia memilih menyandarkan punggung di dinding besi itu, mencari tempat terjauh. Sementara Rafel seakan siap menerkam, menatapnya lurus-lurus lantas menghela langkah ke dalam. Dia terlihat kesal sekali.

"Untuk apa malah ditutup?!"

"Nggak kelihatan," Aiyana membuang muka, dingin. "Ayo tolong tekan tombolnya, aku mau masuk kamar. Bokongku pegal dari tadi nungguin tuan di depan."

Rafel mengernyit mendengar perintahnya. "Memerintahku?" hardiknya.

"Meminta tolong loh," Aiyana mengibaskan tangan, melihat lift sudah tertutup dengan sendirinya. "Nggak jadi, udah ketutup. Lagian tuan dimintai tutup lift aja kayak diperintah bikinin candi. Contoh tuh Sangkuriang, demi bisa nikahin perempuan yang dia suka, dalam semalam dia berhasil buatin candi."

Pipi Aiyana ditarik Rafel dengan gregetan, gadis itu meringis kesakitan. Jangan bilang ini menggemaskan, rasanya pedih sekali. Dia mencubitnya penuh nafsu!

"Pernah mendengar katanya dia bekerjasama dengan jin?"

"Lah, tuan juga kan sebangsa mereka. Iblis yang sok berkuasa gitu," sambil menggosok-gosok pipinya yang terasa panas, lalu membalik tubuh segera ke arah dinding lift melihat Rafel mengangkat tangannya lagi. "Maaf, maaf. Keceplosan."

Pintu lift terbuka, Rafel tidak kunjung bergerak keluar, menunggunya.

"Tuan, udah nge-ting. Cepetan keluar." Aiyana tetap memunggungi, takut. Aura Rafel di belakangnya sangat tidak mengenakan.

"Berbalik."

Dingin sekali nada suaranya. Dia selalu kesal jika disamakan dengan iblis, tanpa mau sadar kalau kelakuan tak berhatinya memang sama persis.

"Ma—mau ngapain?"

"Keluar duluan."

"Tuan aja yang duluan,"

Satu tangan Rafel menahan pintu lift agar tidak kembali tertutup, sedang satu lainnya terkepal, bocah ini selalu saja membuat emosinya meletup-letup.

"Cepet, Aiyana. Keluar!" perintahnya kian menajam.

"Aku sepertinya meninggalkan sesuatu di bawah. Mau ... mau turun lagi."

"Keluar!"

"Cincin tuan seingatku masih di bawah deh. Ada di konter dapur, kan?"

Rafel meraih kerah belakang kaus Aiyana, menariknya paksa agar ikut keluar. Pelan, tanpa membuatnya tercekik.

"Dih, jangan kayak begini dong," Aiyana menepis, ia dijinjing seperti kucing. "Tuan, tolong gunakan cara manusiawi. Aku calon istrimu!"

Rafel langsung melepaskan, Aiyana mendecak kesal sambil merapikan kausnya yang sempat terangkat. "Harus banget kayak begitu?!"

Di detik Aiyana membalik badan, dua pipinya langsung ditarik hingga dia meringis kesakitan dan memukul-mukul lengan Rafel memohon agar dilepaskan.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang