Chapter 43

23K 3.7K 1K
                                    

Halooo... Maaf ya baru bisa update 🙏🏻🥺 Ada yang masih nunggu? 🥺🥺

Happy New Year 2022 semuanyaa ❤️ Bahagia dan sehat selalu buat kalian semuaa 💃🥰

Lagunya kuputar saat nulis ini, kujadiin mulmed aja lah 😂😂





Happy Reading



***
Lama, mereka berpelukan. Rafel kian mengeratkan dekapan, sedikit mengangkat tubuh Aiyana hingga dia harus berjinjit di atas kakinya, tetapi tanpa protesan Aiyana tetap memberikan pelukan terbaik untuk suaminya. Dia tidak lagi bertanya apa-apa, membiarkan Rafel menumpahkan segala kesedihan yang tengah dirasakan. Tidak ada Rafel yang dominan dan kejam. Dia seperti anak kecil yang kehilangan arah. Menyedihkan, terasa asing, sekaligus ... menenangkan.

"Aiyana... ini sakit sekali. Hatiku sakit." Rafel susah payah menelan saliva, matanya memejam, bulir bening terus berjatuhan. "Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, mengapa harus aku yang kalah dalam permainan kita? Rasanya tidak adil, Aiyana, aku sudah cukup menderita selama bertahun-tahun. Aku pikir, semuanya akan lebih mudah karena kamu hanya Aiyana, kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya gadis desa yang tidak seharusnya bisa menjadi apa-apa. Aku bisa menginjakmu dan menertawakan kehancuranmu—bukankah seharusnya begitu?"

"...nyatanya, aku masuk terlalu jauh. Aku tidak tahu di mana yang salah, karena ... sebanyak aku membencimu, tidak sebesar rasa takutku akan kehilanganmu. Bayangan hidup tanpa kamu membuatku takut. Dan aku tidak pernah ketergantungan seperti ini, Ai, tidak pada siapa pun!"

Aiyana masih bergeming, tidak menjauh, membiarkan Rafel memuntahkan seluruh isi hatinya walau dekapannya terus mengerat—dibalut oleh gelenggak emosi atas ekspektasi yang dia hancurkan sendiri.

"Aku membohongi Ayahku, mengesampingkan kehancuran adikku, melupakan kematian ibuku ... dan kamu tahu apa...? Semuanya demi kamu, Aiyana! Aku mengkhianati keluargaku sendiri, demi rubah kecil paling menjengkelkan. Aku mengkhianati mereka semua demi bersamamu lebih lama!"

Aiyana seharusnya menertawakan, akhirnya ucapannya sedikit demi sedikit menjadi kenyataan. Tapi, mendengar suara Rafel yang bergetar parau, begitu terluka, ia bahkan tidak bisa melakukannya. Ia menggigit bibir bagian dalam, menangisi, mengapa rasanya sulit sekali untuk mereka menjadi dua manusia normal? Tuhan membiarkan mereka saling nyaman, hanya untuk menunjukkan bahwa Dia Maha membolak-balik keadaan. Tapi, Tuhan tidak memberikan sedikit pun cara, bagaimana membuat seluruh kenangan buruk itu terlupakan dari ingatan. Apakah hanya kematian yang bisa melakukannya? Sebab, sungguh, sulit rasanya hidup bersama seseorang yang menganggapmu seorang pembunuh.

"Kenapa harus begini? Akan lebih mudah untukku jika kamu membuatku benci setengah mati. Mengapa semudah ini kamu membuatku lupa akan tujuan awalku? Seharusnya aku memberimu kehancuran terparah. Bukan seperti ini, Aiyana ... sungguh, bukan seperti ini seharusnya."

Gumaman serak Rafel ketika dia memanggil namanya dan air mata tanpa isak tangisnya sudah cukup menegaskan kalau saat ini lelaki itu sedang terluka. Dia tampak sangat menderita. Dia tidak pernah terlihat serapuh ini, dia tidak pernah terlihat seputus-asa ini. Sisi lain Rafel yang masih sulit untuk dipercaya Aiyana bahwa dia memilikinya juga. Dia bisa sedih, dia bisa menangis, dan dia memiliki air mata layaknya manusia normal pada umumnya. Dia terlihat lebih manusiawi sekarang.

"Tolong katakan padaku, bahwa aku sudah melakukan yang terbaik—bahkan ketika aku tahu memohon padamu agar menetap adalah kebodohan terparahku. Aku Rafel Erden Hardyantara, mengapa seorang Aiyana yang berhasil melakukannya? Memang kamu siapa, brengsek?! Beraninya kamu!"

Sesaat, Aiyana mencerna, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia bergerak mengeratkan dekapan, menghidu aroma Rafel dalam-dalam yang terasa menyenangkan walau telah berpadu dengan bau asap—atau entah apa—Aiyana tidak peduli. Dalam lingkupan tubuh besar dan keras ini, Aiyana membenamkan kepala di dadanya, nyaman sekali.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang