Chapter 19

25K 3.8K 1K
                                    

Halooo... maaf banget ya baru bisa update setelah 10 hari 🙏🏻😩 Ada yang masih nunggu nggak nih? 🤭

Baru selesai ditulis. Mohon koreksinya kalau ada typo atau kalimat rancu ☺️


Happy Reading



***
Bermenit-menit membeku di dapur, seperti orang linglung, Aiyana baru mengerjap, menyentuh bibirnya yang sempat bertabrakan dengan kenyalnya bibir milik Rafel.

"Apa dia baru saja menciumku?" ucapnya, mula-mula Aiyana cuma menggumam pelan. "Iya, kan?"

Ia mendongak, melihat tidak ada siapa pun lagi di sekitarnya termasuk Rafel yang telah berlalu usai dia melontarkan ancaman dan permintaan tak masuk akal. Di samping itu, kalimat menohok Rafel tentang asal-usulnya sangat membekas di ingatan. Dia mengatakan itu begitu lancar, tanpa peduli kalau semua kata-katanya terdengar sangat menyakitkan. Padahal selama ini, Disan selalu berusaha menutupi meski suara sumbang istri, anak, para tetangga, tidak bisa semua dia bungkam.

Mulut Rafel memang amat beracun, persis seperti mereka-mereka itu.

"Dia benar ... menciumku?!" membelalak, Aiyana mengusap berulang kali bibirnya secara kasar. "Dasar, dia mengambil kesempatan dalam kesempitan. Apa-apaan manusia itu? Dia pikir dia siapa?! Sungguh kurang ajar!"

Tadi saat Rafel pergi, Aiyana benar-benar tidak sadar karena pikirannya melayang pada keadaan Ayahnya dan neraka yang ditawarkan Rafel. Setelah dia menghilang cukup lama, ia baru mulai bergerak mondar-mandir panik saat ciuman pertamanya sudah dicuri.

"Rafel nggak punya akhlak, Rafel nggak jelas dan emosian, dasar si Rafel ... kenapa sih orang sekejam itu harus dihadirkan di dunia ini!"

Mengentak-entakkan kakinya, Aiyana akhirnya hanya menutup wajahnya yang memanas—sambil sesekali menepuk kepala. "Bodoh, bodoh. Kenapa bisa aku baru sadar dia menciumku? Sekarang, aku harus bagaimana? Aku nggak bisa memprotesnya. Aku nggak mau bertemu dengan orang itu!"

Aiyana duduk di kursi makan, membenamkan kepala pada lipatan tangan dengan pikiran yang kian bercabang.

"Dia pasti sudah gila. Pernikahan apa? Dia pasti masih mabuk!" bibirnya mendumal, ia masih tidak ingin percaya atas ajakannya. "Dia pikir menikah hanya untuk ajang permainan? Dia pikir segalanya bisa diuangkan?"

"Aku tidak percaya ada orang seperti itu di dunia ini!"

Tidak hentinya Aiyana memaki Rafel, belingsatan—teramat kesal. Tanpa gadis itu sadari, di ruang kerjanya Rafel memantau gerak-gerik Aiyana yang seperti cacing kepanasan lewat kamera CCTV sambil mengulum senyum geli, sesekali tertawa, lucu sekali.

"Si bodoh ini, lemot sekali. Bisa-bisanya dia baru sadar," Rafel meraba bibirnya sendiri, menyandarkan punggung, mengusap setitik air mata yang keluar gara-gara cukup banyak tergelak melihat kelakuan absurdnya.

Bagaimana perubahan dari ekspresi yang tadinya kosong, tenang, kembali hyper dan kepanikan. Belingsatan, rusuh, banyak omong—memang sangat Aiyana sekali. Itu hanya sebuah kecupan singkat, bagaimana jika kehilangan keperawanan? Mungkin dia bisa histeris seakan salah satu anggota tubuhnya telah hilang dicuri dari badan.

Lama Aiyana di sana, sebelum dengan langkah gontai agak tertatih, dia kembali naik ke atas tanpa menggunakan kursi roda. Ada beberapa ruangan yang memang tidak terpantau kamera CCTV, sehingga saat dia baru keluar dari lift, Rafel mengernyit melihat dia sudah memegang selembar kertas dan sekarang terlihat di depan pintu kamarnya.

Rafel menoleh ke arah pintu ruang kerja, "Apa yang sedang dia lakukan di sana?"

Diamati lagi, Aiyana meremas kertasnya hingga membentuk bola, lalu melemparkan ke pintunya secara berapi-api. Dia berjalan menjauh, hanya kurang dari satu menit, dihampiri lagi dan mengambil kembali kertasnya yang menggelinding—merapikan, kemudian diselipkan pada celah pintu, baru dia meninggalkan sepenuhnya ke dalam kamar.

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang