Chapter 34

19.4K 3.6K 738
                                    

Halooo... siapa yang masih nunggu Luka Cantik? 🙌🏻
Maaf ya, baru bisa update 🙏🏻 Kemarin habis dari luar kota, jadi baru sempet nulis hari ini 🤧🤧

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat keliru.


Happy Reading




***
Setelah mendapatkan penjelasan lengkap dari Ajudan kepercayaannya yang tidak berhasil menangkap si pelaku, Rafel meminta Niko untuk dipanggilkan juga agar segera menghadapnya. Tidak lama, lelaki berperawakan tinggi yang nyaris sama dengannya itu memasuki kamar, membungkuk sopan. Bimo sudah keluar, meninggalkan mereka bertiga dalam ruangan kamar Rafel yang berubah mencekam dan dingin—termasuk Aiyana yang tak dibiarkan Rafel untuk menjauh dari sisinya. Genggaman hangat Aiyana membuatnya merasa jauh lebih baik, mengerat, seolah paham betul kalau calon suaminya sedang dibungkus oleh amarah pekat.

"Tuan Rafel, bagaimana keadaan Anda?" tanya Niko, tampak cemas.

Rafel mendongak menatapnya, tak bersahabat. Auranya gelap, andai tangan Aiyana tidak menggenggamnya, barangkali ia sudah mencekik leher Niko dan mengentakkan tubuhnya ke tembok atas insiden ini. "Aku masih hidup. Tapi, sebagai gantinya ... mungkin aku akan menembak lengan kananmu, persis seperti yang aku terima sekarang!" hardiknya tajam. "Bagaimana?"

Raut Aiyana memucat, ia mengguncang tangan Rafel seraya menggeleng panik. "Tuan Rafel, tolong jangan melakukan itu. Kejadian ini bukan sama sekali salahnya!"

"Tutup mulutmu, Ai. Pembelaanmu membuatku semakin kesal. Diam akan lebih baik agar tidak memperburuk nasibnya!"

Aiyana dengan cepat mengatupkan bibir, tetapi genggamannya semakin mengerat, ia memohon tanpa suara.

"Tuan, maafkan saya atas kecerobohan yang terjadi tadi sore. Saya salah telah meninggalkan Nona Aiyana sendirian di taman. Saya pantas menerima hukuman." Suaranya bergetar, Niko menunduk tanpa bantahan. "Maafkan saya."

Rafel menyeringai sinis, gelenggak amarah masih menguasai. "Bagus kamu tahu apa kesalahanmu tanpa perlu kujelaskan."

"Sekali lagi, saya minta maaf." Niko kembali membungkuk, rasa bersalah menghias parasnya. "Nona, saya minta maaf tidak bisa melindungi Anda. Saya benar-benar minta maaf."

"Tidak ada yang tahu jika penembakan itu akan terjadi. Ini sama sekali bukan salah Kak Niko. Ini murni kecelakaan, tuan. Hentikan. Jangan mencari kambing hitam atas kemarahanmu. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Sekarang, lebih baik tuan fokus pada penyembuhanmu. Bersyukur, tuan masih hidup dan bernapas dengan baik. Tuan bahkan masih bisa bicara banyak dan menghardik orang lain, padahal dalam keadaan nggak berdaya seperti ini."

Tangan kanan Rafel yang dibungkus perban kini diangkat, mendengar ucapan Aiyana malah membuatnya semakin kesal. "Mana pistolmu?" pintanya dingin.

Jantung Aiyana serasa berhenti mendadak, ia menggeleng lebih keras dan terus berusaha menenangkan lelaki gila ini. Temperamen dia sangat buruk.

"Tu–tuan...," Niko memucat, ia gugup dan takut.

"Tuan Rafel, tolong jangan seperti ini. Berhenti menyelesaikan semuanya dengan kekerasan. Ini tidak benar! Hentikan!"

Rafel mengalihkan pandangan pada Aiyana, penuh peringatan. "Aiyana, semuanya akan bertambah buruk jika sepatah lagi saja ada kalimat yang terlontar dari mulutmu. Aku tidak main-main dengan ucapanku!"

"Tuan, aku mohon ... jangan lakukan ini. Kamu jangan gila. Tenangkan dirimu!"

"Berhenti membelanya! Aku tidak suka!" bentakkan Rafel menggelegar, ia semakin naik pitam—membuat Aiyana menunduk dalam-dalam dan tak lagi mengeluarkan protesan. "Diam, jangan lagi mengatakan apa-apa!"

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang