Pelangi Untuk Syaqila

985 90 13
                                    

Setelah berbicara dengan dokter, Nicho langsung keluar dari ruangan tersebut. Saat cinta itu datang pada dirinya, kenapa Syaqila harus berjuang melawan dua penyakit mematikan?

Apa karena ini semua sumpahnya di waktu yang lalu, saat ia mengatakan jika sudah mulai mencintai Syaqila, Nicho berharap kalau Syaqila mati saja? Jika, iya, Nicho menarik kata-katanya. Kenapa dulu ia bisa sangat kejam pada wanita berhati malaikat?

Seorang wanita yang tak pernah balas dendam. Jika Syaqila sangat benci pada Nicho, ia kan bisa mengadu pada polisi atas kekerasan yang diberikan dari sang suami. Namun, ia tidak ada niat sejahat itu.

Nicho melangkah ke ruangan rawat sang istri. Sudah tidak ada orang lagi, melainkan seorang wanita yang terbaring kaku di brankar diiringi dengan air mata yang terus keluar. Mungkin dengan air mata, wanita tersebut menggambarkan kalau ia sangat lelah dengan semua ini.

Ceklek!

Nicho masuk ke ruangan Syaqila. Ingin sekali wanita tersebut melihat siapa yang datang. Namun, Indra penglihatannya sedang tidak berfungsi. Sekujur tubuh Syaqila sangat sakit. Sakit yang tidak bisa lagi ia jelaskan. Ia hanya bisa me jelaskan dengan air mata yang terus turun.

"Syaqila, di luar hujan. Kita lihat pelangi, yuk," ujar Nicho bernada lirih.

Syaqila hanya diam saja. Bagaimana mungkin ia bisa melihat pelangi, ia kan lagi buta.

"Tuan, kamu pasti lagi senyum, 'kan?" tanya Syaqila.

Nicho meraih tangan Syaqila. Lalu ia tempel tangan tersebut ke wajahnya. Syaqila merasa kalau pipi sang suami sedang basah. Beberapa detik kemudian, tangan itu meraba bibir Nicho.

"Aku tidak lagi tersenyum, Qila," lirih Nicho.

Beberapa menit kemudian suster datang membawa kursi roda. Tadi, Nicho sempat mengatakan minta tolong agar suster membawa kursi roda.

"Terima kasih, Sus," ucap Nicho.

"Sama-sama, Pak," jawab suster. Wanita berbaju putih langsung pergi dari ruangan tersebut.

Nicho langsung mengangkat tubuh kaku itu ke kursi roda. Lalu mendorong kursi tersebut.

"Tuan mau bawa aku ke mana? Tuan, tolong jangan siksa aku dulu. Aku lagi sakit. Apa Tuan belum puas, ya, menyiksa aku?" ucap Syaqila tersedu-sedu.

"Tidak akan ada lagi yang menyiksamu, Qila. Aku janji, aku tidak akan membiarkanmu menderita lagi," ujar Nicho.

Nicho membuka jeketnya, lalu memakaikannya pada sang istri agar tidak kedinginan. Sebab, hari ini cuaca sangat dingin. Hujan sudah reda. Nicho membawa sang istri ke taman rumah sakit. Mereka sudah sampai di tempat tujuan.

Nicho berjongkok, ia tidak bisa duduk di bangku karena masih basah.

"Syaqila di sana ada pelangi." Tunjuk Nicho ke arah langit yang sedang menghadiahkan panorama yang berbentuk busur.

"Mana, Kak? Kok, aku tidak li--" Senyum Syaqila langsung pudar. Sebuah kenyataan yang mengatakan kalau saat ini ia sedang buta. Jadi tidak bisa melihat pelangi yang indah. Nicho berdiri dari jongkoknya.

"Tenang aja, Syaqila. Aku yang akan memberimu pelangi," ucap Nicho.

"Kak, pelanginya pasti sangat indah, 'kan?"

"Iya, seindah wajahmu Syaqila," ujar Nicho sambil memeluk istrinya dari belakang.

Nicho membungkukkan badan, lalu memegang wajah Syaqila. Hembusan napas dari sang suami sudah terasa di wajah Syaqila.

"Syaqila percaya, 'kan ada pelangi setelah hujan?" Syaqila mengangguk. "Pasti Syaqila juga pasti percaya akan ada kebahagiaan setelah perjuangan, 'kan?"

"Syaqila tidak tahu, Tuan," lirih Syaqila sambil menggeleng.

"Jangan panggil Tuan lagi, ya. Panggilan Kakak aja. Kakak janji, Kakak 'kan memberikan pelangi dan kebahagiaan untukmu, Qila." Nicho mengelus pucuk kepala Syaqila.

Namun, saat tangan Nicho sudah lepas dari kepala Syaqila, ia sangat terkejut sangat banyak rambut yang rontok di tangannya yang pasti bersumber dari rambut sang istri.

Nicho Masi melongo menatap rambut yang di tangannya. Apa mungkin ini juga karena keganasan penyakit tersebut?

"Kak, coba hitung jumlah warna pelanginya," pinta Syaqila sambil tersenyum lepas. Bibir yang pucat itu melengkung, yang mempertandakan kalau ia sedang bahagia.

Nicho masih bungkuk dengan raut wajah yang masih heran melihat rambut yang ditangannya. Namun, saat melihat bibir yang melengkung itu, ada getaran aneh di hatinya.

Nicho beralih menatap panorama yang berbentuk busur.

"Warnanya ada tujuh, yaitu, Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu. Dan pelangi itu ada di matamu." Nicho kembali menatap bola mata indah yang saat ini terlihat sayu.

Syaqila tersenyum. Beberapa detik kemudian kepalanya sakit lagi. Ia merasa sedang ditusuk oleh jarum yang sangat tajam, tepat ke kepalanya. Hidung Syaqila juga mengeluarkan darah.

"Kak, sakit," cicit Syaqila. Tanpa rasa jijik, Nicho menghapus darah yang keluar dari hidung istrinya. Lalu ia mengangkat Syaqila, ia takut terjadi hal yang buruk pada sang istri.

"Kak, rasanya sakit sekali. Syaqila udah gak kuat lagi," cicit Syaqila.

"Bertahanlah, Qila." Secepat mungkin Nicho berlari.

Kini, merupakan sudah sampai di ruang rawat Syaqila.

"Dokter!" teriak Nicho panik.

Dokter pria itu kembali datang.

"Silahkan Bapak di luar dulu," ujar Dokter.

Nicho langsung bergegas keluar. Ia terus saja mondar-mandir, sungguh ia merasa sangat takut.

Ceklek!

Dokter keluar dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak.








Cinta untuk Syaqila [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang