ENAM BELAS

34 1 0
                                    

Kibo dan Darren sedang adu bacot karena ulah Kibo yang terus saja mengganggu Darren. Cowok dengan rambut kribo itu melempar apa saja yang ada di depannya mulai dari penghapus, pulpen, kertas, hingga buku cetak milik Fauzi.

Darren menatap tajam Kibo. "Sekali lagi lo lempar gue, gue coret lo dari KK keluarga lo, Bo."

Mendengar itu Sagara, Nando, dan Fauzi spontan tertawa. Apalagi melihat ekspresi Kibo yang mendelik membuat tawa mereka semakin menjadi-jadi.

Kibo menghela napas panjang lalu memandang jam dinding yang ada di atas papan tulis. Dirinya benar-benar gabut sekarang.

"Gue tuh seneng kalo jamkos, seneng banget malah. Tapi kalo tiap hari gurunya gak pernah masuk gini, yang ada otak gue yang tadinya udah goblok jadi tambah goblok." Kibo berkata dengan raut wajah yang natural sekali nelangsanya.

"Paling enggak jamkos itu 8 kali lah dalam seminggu. Nah kalo ini, sama aja kayak kita dateng ke sekolah bawa diri, duduk, nongkrong, kantin, kenyang, tidur, pulang. Tiap hari begitu tuh, kan bosen gitu mulu, ya kan?"

Tolong Kibo, menahan tawa itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Lah otak lo bukannya emang cuma buat pajangan doang, Bo?" Kini Nando yang mulai mencari ribut dengan Kibo. Kibo hanya melirik sekilas karena malas menanggapi.

Kibo mendengus. "Ya meskipun gue gak merhatiin waktu lagi dijelasin, terus gak pernah ngerjain tugas kalo dikasih, tapi seenggaknya gurunya masuk dong karena udah kewajiban dia ngajar."

"Dan kewajiban kita juga sebagai murid untuk merhatiin dan ngerjain tugas-tugasnya." Fauzi menyahut.

Kelima cowok itu asik berdebat dan bercanda, bahkan murid yang lain pun tidak jauh berbeda dari mereka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda produktifitas di kelas IPS 3 ini.

"Woi, gila!"

"Sssttt!"

"Kenape sih?"

"Suara lo, noh, gede bener!"

"Ye suka-suka gue lah."

Seperti biasa 2 cowok yang berada di pojok kelas sedang berdebat. Satu cowok dengan jambul mautnya dan yang satu lagi dengan poni supernya. Kibo yang merasa terganggu dengan suara mereka pun akhirnya menoleh.

"Heh, itu yang dipojok itu ngapain ya? Bedu, Anwar, nontonin apaan lu bedua?!" Suara Kibo menggelegar membuat keempat temannya ikut menoleh ke arah Kibo memandang.

"Halah kayak lo gak pernah nontonin aja, Bo." Cowok bernama Bedu menyahut.

"Dih, maap-maap aja nih ya. Gue mah masih polos, gak ngerti yang begituan."

"Astaghfirullah, kalian ini berdosa banget." Nando berdiri dari duduknya sambil menutup mulut tak percaya, sangat dramatis persis seperti adegan sinetron.

"Nah, kasih paham tuh, Ngab." Kibo bersedekap.

"Ngoghey," ucap Nando seraya mengacungkan jempol. Kini wajahnya dibuat makin serius.

"Ckckck, Bedu, Anwar...." Nando menggeleng seraya berkacak pinggang.

"Pulang nak, pulang. Umi nyekolahin kalian biar jadi orang bener, bukan buat nontonin begituan. Astaghfirullah...," Persis seperti orangtua yang sedang menasehati anaknya.

"Hahaha woi! Sakit perut gue." Sagara memegang perutnya yang sakit karena tidak berhenti tertawa.

"Lu jadi emaknya siapa anjir, Do? Hahaha." Darren menggebrak meja saking ngakaknya.

"Umi gue menangis melihat ini," ucap Anwar disela tawanya.

"Woi, ah! Umi angkat gue jadi anak," kata Kibo.

SAGARA (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang