AFTER THREE YEARS
Bahkan sederas tangis hujan tak mampu menghadirkan pelangi datang.Annisa Kharizah Salsabila
Sejak hari itu, hari mana aku kehilangan bayiku, hari hariku terasa hampa. Aku hanya berdiam diri di kamar, melamun, dan
menangis ketika teringat pada hal yang tak bisa dilepas begitu saja dari memoriku. Mama selalu menyalahkanku atas rasa
malu yang ia tanggung saat itu bahkan sampai sekarang rasa malu itu tidak pernah hilang, teman teman mama selalunmengungkit ungkit kejadian tiga tahun lalu, mempermalukan mama, ya inilah kerjaan ibu ibu penggosip.Di sisi lain ada Mas Fakhri yang selalu
menguatkan aku memberi aku semangat dan menjadi penopang yang tangguh untukku. Sekarang semuanya serba rumit, setiap
hari di rumah ini selalu diwarnai oleh
percekcokan antara mas Fakhri mama dan aku.Keluargaku sendiri, baik dari pihak Ibu maupun Ayah pernah menjengukku, tepat sehari setelah berita duka itu menyebar di telinga keluarga. Kehadiran mereka tentu saja ingin memberikan dukungan dan nasehat yang meneduhkan, tapi semuanya tak pernah diterima dengan baik oleh Mama. Di setiap perkataan keluarga yang ingin menguatkan ku di saat itu pula Mama menjatuhkannya. Mengoarkan ucapan-ucapan mengenai ia yang dipermalukan, seolah membuatnya paling tersiksa dan menderita.
Beruntung saja, keluargaku seakan maklum dengan semua itu. Tak ada satupun dari mereka yang balik membalas dengan cercaan serupa. Paling mencolok hanyalah suara tawa yang tertahan. Entah apa yang mereka tertawakan, kondisiku yang baru saja kehilangan anak pertamaku namun justru disudutkan oleh ibu mertua atau justru menertawakan segala tingkah Mama yang menurut mereka menggelikan. Entahlah, aku tak tahu.
Setelah hari itu, mereka tak lagi datang. Hanya sesekali menghungingku tuk menanyakan kabar. Memastikan makan dengan teratur dan istirahat dengan cukup. Harusnya mereka tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Dari profesi Mas Fakhri saja sudah jelas ia akan memperhatikanku. Jangankan makan dengan teratur, bahkan minum pun selalu ia pantau. Jangankan istirahat dengan cukup, asal mereka tahu saja Mas Fakhri bahkan tak membiarkanku untuk sekedar mencuci piring bekas makanku.
Hingga suatu saat mas Fakhri ingin agar mita hidup terpisah, mas Fakhri sudah tidak sanggup lagi dengan semua itu. ia sebenarnya tak ingin terus berseteru dengan mama ia ingin menjadi anak yang berbakti
dan tidak membangkang seperti saat ini.Tapi perlakuan mama juga tidak dapat dibenarkan mas Fakhri selalu memikirkan kondisiku lantaran kejadian tiga tahun yang lalu, ia takut aku kembali tertekan dengan
semua ini.Aku pun pernah berfikiran untuk pindah rumah saja mengingat semua perlakuan mama padaku. Namun aku masih menggunakan otak dan hatiku tak mungkin aku dan mas Fakhri meninggalkan mama sendirian di sini. Mas Fakhri juga merupakan
anak satu satunya jika bukan mas Fakhri siapa lagi yang akan merawat mama diusianya yang tak lagi muda ini. Keluarga yang lainnya pun tak ada yang sekota dengan kami.Tiga tahun telah berlalu begitu saja, hanya menyisakan kenangan kenangan yang menyesakkan dada.
Kenapa waktu begitu kejam? dengan
mudahnya ia berlalu pergi tanpa
menghiraukan jejak kenangan yang tersisa di sini.Aku tak masalah jika waktu berlalu tanpa pamit tapi bisakah ia juga membawa apa yang telah ia ukir saat itu? sedangkan waktu tak bisa diulang lagi.
Tiga tahun penguji kesabaran. Di saat hatiku masih berada dalam kondisi berduka tetapi malah ditambah dengan sambutan ceceran omongan kasar oleh mertuaku sendiri.
Aku pun tak ingin kehilangan anakku dan aku rasa semua ibu di dunia ini juga begitu. Lalu kenapa mama malah menyalahkan aku atas musibah yang yang terjadi ini, hingga mama dipermalukan di depan banyak orang
karena acara syukuran kehamilan menjadi acara duka kematian bayi pertamaku.Hidup harus tetap berjalan, karena tak mungkin hanya berdiam diri sementara waktu terus pergi meninggalkan semua yang terukir rapi. Karena jika berdiam diri yang
menjadi sebuah pilihan maka selama itulah semua akan sia sia. Dan sekarang adalah tekad ku untuk
melepas bayangan yang membelenggu, yang
menahan ku melangkah maju.Selama ini aku hanya terpaku melihat dunia luar dari jendela kamar, mentok-mentok dari balkon yang menghubungkan dengan taman. Dari sini saja, dapat aku lihat kebahagiaan yang terjadi di luar sana. Mengenai orang-orang yang saling berpapasan lalu mengangguk dan tersenyum ramah meski tak kenal secara akrab. Atau sebatas anak-anak kecil yang lari-larian di lorong-lorong gang. Semuanya terasa membahagiakan, tapi dari sudut pandangku selama ini terasa begitu hambar. Mengapa? karena hatiku lebih terfokus pada duka. Membiarkan duka memelukku dengan erat sepanjang waktu. Menyelimuti tubuhku hingga kehangatan itu tak lagi menyentuhku.
Ini salahku, yang terlalu berlarut, padahal bisa saja jika aku menginginkannya, akan ada masanya semua ini surut.
Senin, 7 Januari 2020
Annisa Kharizah SalsabilaBonusss
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}
SpiritualWanita itu .. mudah iba, mudah patah, mudah menangis. Hatinya dipenuhi kelembutan dan cinta yang tulus tersebab fitrahnya sebagai seorang wanita ia kerap kali diuji oleh Allah melalui hatinya. ~Vivi Yaumil Fadillah. Itulah yang dialami Annisa Haridz...