4.1451 Mengarungi Bahtera✓

403 29 1
                                    


Jangan lihat masa laluku yang kelam, tapi lihatlah kesungguhan niatku sekarang.
Alta Fakhriza

"Silahkan tuan putri," ucap Mas Fakhri membukakan pintu untukku setelah sampai di depan mobilnya.
Aku memasuki mobil dengan senyum mengembang menahan malu. Untuk seukuran orang cuek sepertinya, aku rasa memang cukup memalukan, tapi Mas Fakhri tetap berusaha melakukan hal-hal manis meski aku tak pernah menuntutnya seperti itu.

"Apaan sihh," ucapku malu saat dilihat oleh banyak pasang mata di parkiran ini yang juga hendak pulang. Dan kebanyakan yang ada di parkiran ini adalah dokter-dokter dan perawat. Siap-siaplah jadi bahan perbincangan besok. Jangan dikira kesibukan di rumah sakit bisa terbebas dari pergibahan. Rasa-rasanya selalu ada saja waktu yang bisa mereka gunakan untuk bergibah. Entah itu saat mengentri data, selama perjalanan mengontrol pasien, ditambah lagi waktu utamanya ketika jam istirahat tiba, tapi tidak semuanya seperti itu kok. Tenang saja, masih ada perkumpulan orang professional di sini, yang tidak tertarik dengan dunia perghibahan.

"Uhhh.... So sweet banget sih."

"Aargghht ... hati adek potek Bang."

"Biasa aja kali, gua udah sering digutuin yang lebih sweet dari itu juga pernah, dasarnya aja para jomblo yang baperan."

"Dokter Alta kok mau ya sama cewek modelan kaya gitu, jangan jangan diguna - guna lagi."

Itulah sederet omongan yang bisa aku dengar sebelum benar benar meninggalkan parkiran ini. Aku lebih setuju dengan ucapan yang ketiga, meski terdengar nyinyir, tapi ia cukup realis, memang di luar sana lebih banyak yang romantis.

"Jangan dengerin ucapan mereka, kita bukanlah peserta audisi yang butuh penilaian dan komentar dari orang orang yang bersikap menjadi juri di hubungan kita ini," ucap mas fakhri begitu lembut namun menguatkan. Tak hanya melalui ucapan semata dia menguatkanku namun juga dengan tindakan, menggenggam erat tanganku, seolah mengatakan 'aku di sini bersamamu, menguatkanmu'
Aku hanya mengangguk membenarkan ucapan Mas Fakhri. Ya, aku bukanlah peserta audisi yang harus mendengar setiap omongan juri. Ini adalah hidupku, aku sendiri yang menentukan setiap pilihan dalam langkahku. Boleh saja mendengar komentar orang lain mengenai diri kita sendiri karena pada dasarnya kita tak akan menyadari kesalahan atau sikap buruk yang kita lakukan, kita tak akan bisa melihat wajah kita sendiri,selain dengan bercermin, dan cermin dalam kehidupan adalah dengan intropeksi diri, kita dapat melihat wajah orang lain oleh karena itu kita sering menjelekkan dan meremehkan seseorang padahal belum tentu kita lebih baik dari orang yang kita remehkan itu. Terpusat pada omongan orang juga tidak baik, seolah kita melakukan sesuatu hanya untuk memuaskan orang lain dam untuk sebuah pujian semata.

"Mas kita mampir di masjid dulu ya aku belum sholat," ucapku setelah tersadar dari lamunan singkatku.

"Kamu belum sholat?" tanya mas Fakhri menoleh ke arahku. Tak ingatkah dia? bahkan aku baru saja bangun tidur, dan aku tertidur sebelum masuk waktu sholat. Jadi aku sholat di mana?sholat dalam mimpi? yang benar saja.

"Lah kan aku baru bangun Mas." Mas Fakhri hanya mengangguk anggukan kepalanya.

"Sholat di sini saja ya," ucapnya setelah berhenti di depan musholla, yang tidak terlalu ramai.

"Iya." Setelah mobil mas Fakhri terhenti aku langsung turun. Untungnya aku selalu membawa mukena saat keluar rumah. Setelah selesai sholat aku langsung keluar
menuju mobil kak Fakhri yang terparkir di depan pelataran musholla. Mas Fakhri kembali melajukan mobilnya, dan tak butuh waktu lama untuk sampai ke cafe yang dimaksud oleh mas Fakhri.

"Kamu mau pesan apa?" ucap mas Fakhri menawariku.

"Samain aja, minumnya jus mangga," ujarku. Mas Fakhri mengangguk paham. Lalu ia memanggil seorang waiters untuk memesan pesanan kami.

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang