35. Proyek Mulia

243 14 0
                                    

Selepas penculikan kemarin dan penjatuhan hukuman penjara melalui persidangan semua runtutan itu kami sembunyikan dari mama dan juga orang tuaku. Para orang tua tidak perlu tahu mengenai hal ini, agar tidak membuat mereka khawatir. Cukup memberikan pelajaran kepadaku dan Mas Fakhri untuk tidak teledor lagi. Selain itu, alasan kami merahasiakan hal ini berdua agar tidak muncul asumsi di luar sana bahwa salah-satu dari kami begini dan begitu. Jika menyebar sudah pasti ada saja yang menyudutkan aku atau Mas Fakhri.

Dan tentu saja setelah kejadian kemarin aku tidak mau lagi ke rumah sakit. Sekarang di sinilah aku berada, di ruang tamu rumahku bersantai dengan Mama sambil menjaga Hamzah.

Rara baru saja naik ke atas--kamarnya. Ia baru saja pulang sekolah, tak sampai sepuluh menit dengan hebohnya ia menuruni tangga. Saking hebohnya hingga terdengar suara gaduh dari langkah kaki Rara. Paham sih, anak itu tidak ada kalem-kalemnya, tapi kalau seperti ini kok kesal sendiri ya.

Baru saja aku hendak menegurnya yang tidak hati-hati. Rara sudah lebih dulu membelokkan langkahnya ke kiri menuju arah dapur, lebih tepatnya kulkas dan lihatlah, anak itu justru memasukkan tiga minuman dingin ke dalam tasnya. Astagfirullah sekali putriku.

"Mama, Rara mau belajar bareng di rumah Samia ya? buat persiapan UTS Minggu depan." Rara mengulurkan tangannya hendak berpamitan.

"Yakin cuma belajar?" tanyaku tak yakin melihat tingkahnya barusan. Dari sifatnya yang sembarangan memasukkan minuman dingin ke dalam tasnya sepertinya tidak menunjukkan sifat seseorang yang rajin belajar. Benar sih, Rara memang tidak rajin belajar. Ia lebih senang bermain dan bermain lagi seharian.

''Iya, Ma. Rara beneran belajar,'' ucap Rara mencoba menyakinkanku. Aku menatapnya dengan pandangan memicing.

"Minumannya jangan taruh di dalam tas gitu, nanti buku kamu basah semua." Aku berdiri hendak mengambilkannya Tote bag kecil untuk ketiga minuman yang Rara bawa. Entah tiga minuman itu untuk dirinya sendiri atau untuk teman-temannya nanti.

"Nggak perlu, Ma. Buku-buku Rara kan sudah disampul semua jadi nggak akan basah." Aku menghembuskan napas pelan mendengar pembelaan Rara.

"Iya buku LKS dan paketmu disampul plastik, yang buku catatan kan sampul kertas."

"Buku catatannya udah Rara masukkan kedalam buku paket, Mama. Pintar kan?"

"Ya sudah, Pulangnya jangan terlalu sore, ya. Ashar sudah harus ada di sini,''

''Iya, Ma.''

''Nenek, Rara mau ke rumah Samia dulu, ya."

"Jangan nakal-nakal di rumah orang,'' peringat mama, sedangkan orang yang diperingatinya hanya mengangguk sekilas lalu mengacir ke depan dengan gesitnya.

"Tempat main Rara udah pindah ya sekarang? bukan lagi rumah Daffin." Benar yang mana bilang, selama ini Rara kalau bermain ya hanya di rumah Daffin dan bersama Daffin. Tidak ada anak sepantaran dengannya di sini, meski usia Daffin jauh di atasnya Rara dengan mudah akrab dengan Daffin.

''Kayanya masih sibuk kerja kelompok, Ma. Biasanya habis Ashar ke pesantren malah baru sempat habis magrib.'' Memasuki pertengahan semester menjelang UTS, tugas-tugas jadi menumpuk.

***

Sesuai janji Rara, ia pulang sebelum Ashar. Kali ini penampilannya masih tergaja, masih di zona aman rupanya. Padahal biasanya, jika Rara sudah pergi bermain selalu saja ada tingkahnya. Entah itu rambut yang awut-awutan, baju koyak, berdarah pun pernah. Anak sepecicilan itu apa yang tidak pernah ia rasakan.

Sekarang, Mas Fakhri sudah mengabari bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang. Mengingat hari ini, sedih rasanya. Namun, tentunya saja kesedihan ini terlalu menyakitkan untuk dilupakan. Ibu mana yang akan melupakan anaknya sendiri. Sekalipun anak itu telah mati, tentu saja tetap tersemat dalam hati. Hari ini tepat tangggal 27 Maret merupakan hari yang cukup menguras air mata, hari di mana aku kehilangan anak pertamaku.

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang