22. 1071 Karena Surga Menungguku✓

443 22 2
                                    

22

==Karena Surga Menungguku==
KUATKANLAH!
Dekap dan peluklah setiap hal yang
terjadi, percayalah Allah bertujuan baik, meski kita harus melewatinya dengan tangis dan rasa sakit
~Tausiah Cinta

Katakanlah aku perempuan bodoh, baru tadi malam aku mengatakan sudah tak sanggup dan akan mengabaikan Mas Fakri, tapi nyatanya aku tak bisa, malah sekarang aku berada di lobby rumah sakit untuk mengantar makan siang Mas Fakhri. Bukan karena ia yang meminta tapi karena aku rasa sudah cukup memberi kesempatan kepada Sellia, atau lebih tepatnya mengalah.
Entahlah.

Baru saja melewati bagian administrasi yang jaraknya hanya beberapa langkah dari pintu masuk, sudah terdengar bisik-bisik di sekitarku. Aku maklumi karena saat ini merupakan jam makan siang, mungkin juga mereka masih heran dan bertanya-tanya kedatanganku ke sini setelah satu bulan lebih tidak ke RS.

"Teteh!" sapa Karin melambaikan tangan.

"Oh hai." Kami saling mendekat dan mendekap.

"Lama tidak ke sini," ucap Karin memulai obrolan, ia melirik rantang makanan di tangan kananku. "Mau mengantar makan siang buat dokter Alta?"

"Iya, apa dia di dalam?" Karin langsung gelisah ia bergumam tak jelas, matanya bergerak-gerak layaknya orang yang sedang mencari jawaban.

"Emm ... sebenarnya ... sebenarnya ...." Aku mulai geram dengan tingkah Karin.

"Ada apa katakan dengan jelas," pintaku mengguncang lengannya dengan gemas.

"Dokter Alta makan siang di kantin
bersama Dokter Sellia," ucap Karin sembari menggosok tengkuk kepalanya.

Saat aku hendak berbalik, Mas Fakhri dan Sellia mendekat ke arah kami. Tentu saja, ruangnya kan ada di lantai tiga itu artinya harus melewati aku dan Karin terlebih dahulu.

"Apa ini makan siang untukku," tanya Mas Fakhri hendak mengambil rantang makanan di tanganku.

Aku menghindar, membalas tatapan
bersalahnya dengan datar. Ya, aku tahu Mas Fakhri merasa bersalah akibat kejadian tadi malam. Dan tadi pagi aku mengurung diri di kamar sampai Mas Fakhri dan Sellia berangkat. Aku juga tidak memasak sarapan, aku membeli tiga porsi menu sarapan di depan kompleks, menyajikannya di meja, lalu segera mengurung diri di kamar sebelum
yang lainnya turun untuk sarapan.

"Ya tadinya begitu, tapi Mas kan sudah makan, jadi biar aku bawa pulang saja."

"Aku akan memakannya nanti sore," ucap Mas Fakhri sambil berusaha mengambil rantang makanan di tanganku lagi.

"Tidak. Soup ayamnya pasti akan dingin. Tidak enak."

"Sudahlah Mas, Bukankah kamu sudah berjanji mengajakku makan di cafe baru nanti sore," ucap Sellia merangkul lengan Mas Fakhri.
Mendengar ucapannya aku tertawa sinis.

"Jam istirahat hampir habis, aku pulang saja." Tanpa menunggu tanggapan dari Mas Fakhri aku langsung meninggalkan Mas Fakhri.

Aku berbohong, aku tidak langsung pulang. Justru duduk di taman rumah sakit. Tiba-tiba ada yang duduk di sebelahku. Ternyata ia Karina. Ia mengikutiku.

"Kenapa tidak dilepas saja, Teh?" tanya Karin. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. Tentu saja mengenai Mas Fakhri dan pernikahanku.

"Tidak akan Karin. Aku tak bisa melepas cintaku untuknya, sekalipun rasa cinta ini telah bercampur dengan luka. Lagi pula aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup, agar kelak aku tetap bisa bersamanya di
akhirat."

"Tapi Teteh akan terus terluka, aku yang melihatnya saja tak sanggup bagaimana Teteh bisa dengan kuat menjalani semua ini," ucap Karin dengan air mata di pelupuk matanya, menunduk atau mengedipkan matanya sekali saja pasti air mata tersebut akan langsung tumpah.

"Sebentar. Hanya sebentar, jika
dibandingkan dengan waktu di akhirat maka hidup di dunia ini hanya beberapa menit saja."

"Kalau begitu Teteh harus kuat, masih
ada aku di sini." Karin mendekapku erat, menumpahkan air matanya di pundakku.

"Teteh juga boleh main ke rumahku jika butuh teman cerita," lanjut Karin setelah melepas pelukannya. Karin menghapus air matanya lalu tersenyum ke arahku.

"Karin, jam istirahat telah habis, sebaiknya kamu segera masuk ke dalam," ucapku setelah melirik jam di jam tanganku. Setelahnya kami sama-sama berdiri. Karin berdiri hendak masuk, sementara aku berdiri hendak pulang.

"Aku akan ke rumahmu kapan-kapan, tapi bukan untuk menceritakan tentang pernikahanku tapi untuk mendengar kelanjutan kisahmu dengan Arkan. Oke?" Aku tersenyum geli melihat wajah terkejut Karin, setelahnya aku langsung ke depan
untuk mencari taxi.
=======
Aku menatap nanar soup ayam yang
baru saja kukeluarkan dari rantang
makanan. Tak ada lagi uap panas soup ini sudah benar-benar dingin. Aku langsung memakannya tanpa menghangatkannya terlebih dahulu. Aku memang tak sempat makan siang, setelah memasak soup ayam
ini aku langsung menuju RS, namun ternyata tetap terlambat. Mas Fakhri sudah lebih dulu makan di kantin bersama Sellia.

Setelah selesai makan dan membereskannya, aku langsung menuju kamar, aku sangat lelah sekaligus mengantuk, mungkin sedikit tidur siang akan mengembalikan tenagaku lagi.
=======
Aku mengerjapkan mataku perlahan, setelah beberapa menit kemudian barulah aku bangun dan duduk di pinggiran kasur. Aku menolehkan kepalaku sekilas menuju jam weker di nakas. Astaga! Sekarang sudah jam
empat sore, aku belum sholat dan belum membereskan rumah.

Pukul lima sore, pekerjaanku belum selesai juga. Masih tersisa separuh pakaian yang belum kusetrika. Seharusnya jam segini aku sudah menyelesaikannya. Ini semua karena
aku terlalu lelap tidur siang.

Setelah sholat maghrib dan mengaji aku melanjutkan kembali menyetrika pakaian. Sepertinya aku akan telat menyajikan makan malam. Semoga saja Mas Fakhri pulang lebih
malam.

Cittt ... decitan mobil berhenti terdengar sangat jelas di telingaku. Ah sepertinya keberuntungan tak berada di pihakku.

Lihatlah aku baru saja selesai memasak nasi, hanya nasi, tak ada lauk sama sekali, dan sekarang Mas Fakhri dan Sellia sudah pulang. Akan kupastikan saat mereka turun nanti masakanku tak akan siap.

"Apa kita hanya akan makan nasi saja malam ini?" tanya Sellia dengan nada yang sedikit membentak.

"Kalau begitu bantu saja Annis biar makan malam cepat tersaji," suruh Mas Fakhri kepada Sellia. Percakapan mereka terdengar jelas meskipun terhalang oleh tembok.

"Mas ini lupa atau bagaimana? Aku tak bisa memasak, dan aku tak mau kukuku jadi rusak karena memasak," ucap Sellia terdengar merajuk.

"Mas mau kemana?" Suara Sellia terdengar lagi.

"Membantu Annis," jawab Mas Fakhri singkat. Benarkah? Tanpa ku sadari sudut bibirku membentuk lengkungan. Aku tersenyum bahagia.

"Mas ... aku sangat lapar, jadi bisakah kita makan di luar saja, aku sangat lapar," rengek Sellia membuat senyumku luntur.

"Mas ...."

"Alta turuti saja keinginan Sellia, sepertinya dia sudah sangat kelaparan, tak baik mengabaikan perut kosong." Suara Mama tiba-tiba terdengar. Membuatku tersenyum
sinis. Sepuluh menit setelah kepergian Mas Fakhri dan Sellia, masakanku baru saja selesai.

"Lama sekali kamu memasak, setiap hari juga tidak apa-apa seperti ini, jadi Alta dan Sellia akan makan malam romantis setiap malam," ucap Mama tersenyum mengejek.

"Aku sudah tak berminat makan lagi," ucap Mama kemudian beranjak meninggalkan meja makan. Maka kedatangannya hanya untuk mengihinaku. Aku menatap masakanku yang telah tersaji rapi di meja, tapi tidak untuk besok, mungkin akan berakhir di tempat
sampah.

"Hufttt."

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang