30. =18 Desember=

413 21 0
                                    

Hari ini, tanggal 18 Desember 2021 adalah prediksi keahiran anak keduaku menurut Dokter Adel. Deg-degan sudah pasti, meskipun ini bukan pertama kali. Jujur, aku sudah menyiapkan hari ini, tapi bisa saja jika kelahiran anakku melenceng dari prediksi dokter. Mas Fakhri pun mengambil cuti, ingin siap siaga katanya. Padahal aku sudah melarangnya takut tidak jadi lahir hari ini.

Mengenai prediksi dari Dokter Adel, aku pun menghubungi keluargaku. Ya, karena keegoisanku empat tahun lalu, orang-orang yang harusnya antusias melihat kelahiran anak pertamaku tidak dapat merasakan itu. Dan aku begitu bersyukur karena kali ini semuanya lengkap. Anggap saja impianku yang tertunda.

Kami duduk melingkar di ruang tamu, di sebelahku ada Mas Fakhri yang sedang tadi tangannya bermain-main di perutku yang bulat. Mama duduk di sofa single di sebelah mas Fakhri, kedua orangtuaku berada di sofa yang berseberangan. Sementara Rara, dia bermain di taman belakang bersama kedua adikku.

''Kalian sudah menyiapkan nama?'' tanya Ayah mengawali pembicaraan di antara kami. Aku menoleh ke arah Mas Fakhri sejenak. Ia sedikit menelengkan kepalanya menghadap ke arah ayah.

"Hamzah Fakhriza,'' jawabnya tersenyum manis ke arahku. Usapan tangannya entah mengapa terasa semakin lembut. Seakan menggambarkan sesayang itu ia terhadap Hamzah--calon anak kami.

"Nama yang bagus," balas Ibu menimpali. Sejatinya, nama adalah doa. Bukan hanya sekedar panggilan yang mapan, lucu ataupun lainnya.

"Kami ingin ia nanti menjadi laki-laki yang berani seperti Asadullah--Singa Allah, Hamzah a.s." Nama Sayyidina Hamzah sudah tak lagi asing di kalangan orang muslim, mengenai keberanian beliau dalam perang badar hingga mendapat julukan sebagai Asadullah yang berarti Singa Allah.

"Aamiin." Dapat kulihat sorot mata kelegaan dari tiga orang di hadapanku ini yang telah berusia lebih dari setengah baya.

"Bayinya nendang," ucap Mas Fakhri membuat semua mata menyorot ke arahnya. Menyusuri binar bahagia yang begitu jelas kentara. Mungkin para orang tua di hadapanku ini juga bernostalgia di masa-masa awal kehamilan Ibu dan Mama karena dari raut wajah yang kutangkap mereka semua seakan merasa paham dan memaklumi seolah berkata, "wajar, aku dulu pun begitu. Begitu senang ketika merasakan bayi menendang."

"Kerasa kali kalau daritadi diomongi," balasku terkekeh ringan. Jika benar begitu, pasti anakku ini sangat peka. Begitu dibicarakan langsung memberikan responnya. Semoga kelak ia pun begitu, ada seorang kakak perempuan yang harus ia jaga.

"Hahaha... semoga cepat lahir dengan selamat."

"Hari ini aku belum ngerasa kontraksi-kontraksi seperti kemarin," ujarku menengahi gelar tawa di antara di antara mereka.

"Kontraksi seperti itu memang sulit diprediksi," ujar Mama kemudian diikuti dengan petuah-petuah dari Ibu dan ayah mengenai kehamilan trimester ketiga.

***
"Mas aku ngantuk banget," keluhku bergelayut di lengannya. Sekilas Mas Fakhri mengalihkan tatapannya dari televisi lalu menatapku dengan lembut

"Ya udah tidur aja." Mas Fakhri merangkul pundakku dengan tangan kanannya, tatapan matanya mengisyaratkan kepadaku untuk segera berdiri, tapi enggan kulakukan. "Ayo," seruan mas Fakhri pun tak kunjung kulakukan, justru aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca penuh rasa bersalah, telah menyurutkan semangatnya.

Aku tahu betul sekalipun Mas Fakhri tak pernah mengatakannya, aku tahu ia telah lama menunggu tanggal delapan belas ini. Menatapi kalander yang telah ia lingkari dengan spidol merah di setiap paginya, ah tidak. Bukan lagi setiap pagi, tapi ia hampir melihatnya setiap kali kakinya berada di sekitar nakas dan masih berada dalam jangkauan pandangannya maka ia akan memandangi kalender itu sembari tersenyum-senyum samar.

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang