19. 1060 Bukan Permaisuri✓

362 22 1
                                    


====Bukan Permaisuri===
Jadilah seperti tanda baca koma, tatkala ada kesedihan yang menghadang, maka berhentilah sejenak, lalu lanjutkanlah kembali perjalananmu"
~Ustadz Dr. Firanda Andirja Abidin. Lc, MA.

Seminggu. Terasa begitu lambat berlalu, begitulah waktu saat kita menunggunya satu menit pun akan terasa begitu lama, namun, apabila kita mengabaikannya bahkan seribu menit pun tak berarti apa-apa. Dan di
situlah kita sering terkecoh waktu.
Aku menggelengkan kepalaku pelan
menghalau lamunan yang berusaha
menguasai pikiran.

"Annisa! cepat bawakan minum!" teriak Mama dari ruang tamu. Dengan cepat aku menuangkan soup
wortel yang baru saja ku masak ke dalam mangkuk besar, baru setelahnya aku membuat minuman seperti yang telah Mama perintahkan.

Aku menepuk kepalaku sedikit keras. Bodoh. Mana aku tahu harus membuat minuman berapa gelas jika tidak melihat tamunya terlebih dahulu. Lagian siapa sih yang bertamu sepagi ini, bahkan aku saja belum selesai memasak.

"Pak Sulaiman, Rizki," sapaku setelah berada di ruang tamu. Aku mendekati Papa Sellia dan Rizki, Adik Sellia, saat ini ia kuliah semester empat fakultas kedokteran.

"Nisa mana minumnya?" Aku hanya
menyengir tak merasa bersalah lalu segera pergi menuju dapur, setelahnya baru membuat dua gelas jus jeruk.

"Nisa kemari! Ada yang akan saya
bicarakan," ucap Pak Sulaiman mendekat dan duduk di sofa.

"Sebelumnya saya juga telah mengatakan hal ini kepada Alta dan Sellia, meski saya tidak tahu betul perasaanmu saya harap kamu
bisa berbagi dan menerima Sellia layaknya saudaramu sendiri, karena mulai hari ini ia akan tinggal di sini dan menjadi bagian dari keluarga ini."

Terdengar menyakitkan memang namun aku bisa apa? bahkan aku merasa ucapan Pak Sulaiman bukanlah suatu permohonan
melainkan suatu permintaan yang
harus kukabulkan. Namun, aku tak akan menyalahkannya, Pak Sulaiman hanyalah seorang Ayah yang menghawatirkan kondisi putrinya kedepannya mengingat Sellia adalah istri kedua yang menikah bukan berdasarkan cinta, tapi mewujudkan
keinginan antara kedua Ibu yang
menginginkan mereka menjadi sepasang suami-istri.

"Sejak saya menyetujui pernikahan Sellia dan Mas Fakhri maka sejak saat itu juga saya menerimanya," ucapku menanggapi permintaan Pak Sulaiman. Menerima semuanya, kedatangan Sellia, cinta yang dibagi, perhatiannya yang tak hanya untuk diriku, dan semua kemungkinan yang akan terjadi telah ku siapkan.

"Yah saya harap kamu benar-benar
menerimanya meski pada nyatanya ini menyakitkan di beberapa hal."

"Kalau begitu saya langsung pamit, mungkin Sellia dan Alta akan tiba nanti malam." Pak Sulaiman berdiri diikuti Rizki yang juga turut berdiri lalu pamit pulang.

Aku dan Mama mengantar Pak Sulaiman dan Rizki ke teras depan, ya seperti itulah etika yang aku tahu saat kedatangan tamu, kedua orang tuaku yang mengajariku sejak kecil tentang adab-adab berlaku sopan di masyarakat. Dan aku yakin semua tuan rumah juga akan melakukan hal yang sepertiku, mengantar tamu ke depan sebagai bentuk penghormatan.
Setelah mobil Pak Sulaiman tak lagi terlihat, dalam artian ia telah pergi membuatku langsung masuk ke dalam rumah, membawa dua gelas yang telah kosong dan kotor dengan nampan ke dapur.

"Annisa!" seru Mama membuat langkahku terhenti dan membalikkan badan.

"Setelah semua pekerjaan rumah ini selesai segera pindahkan barang-barangmu ke kamar tamu, mulai sekarang kamar itu akan menjadi kamar Alta dan Selia." Aku menatap Mama dengan bola mata melebar dan terkejut.

"Tapi kan--" banyak kenangan kami di sana Ma. Mana mungkin aku sanggup Sellia menggantikan kenanganku dengan ukiran kisahnya.

"Kamu memang istri pertama, tapi kamu bukanlah permaisuri dan Sellia bukanlah selir. Sejak kamu keguguran dan tak bisa menjaga calon bayimu sendiri sejak saat itulah kau tak lagi bisa disebut sebagai permaisuri, karena kamu tidak becus! bahkan setelah tiga tahun sejak kejadian
itu kau tidak juga hamil. Jadi sekarang tunggulah kelahiran putera mahkota yang akan meneruskan kesuksesan Alta, dan jangan sedih jika anak itu bukanlah berasal dari rahimmu."

Sesak. Aku pikir Mama sudah melupakan dan tak akan mengungkit kembali kejadian tiga tahun lalu, tak akan lagi menyalahkanku atas kepergiannya, namun aku salah
karena sampai kapanpun Mama akan
terus menyalahkanku atas kematian calon cucunya. Aku juga tak berniat membuatnya mana ada seorang Ibu yang sengaja mencelakakan anaknya sendiri. Tidak ada!

Jika sistem penobatan permaisuri masih berlaku saat ini, maka benar aku bukanlah seorang permaisuri sekalipun aku adalah istri pertama karena aku bukanlah berasal dari keluarga kaya, tanpa memiliki
pendidikan tinggi dan tak ada bakat
istimewa satupun dalam diriku.

Sampai di dapur aku tak lagi berminat melanjutkan masakanku yang sempat tertunda karena kehadiran Pak Sulaiman dan Rizki tadi. Soup wortel yang kubuat
tadi pun sudah dingin, biarlah aku juga mendadak kehilangan nafsu makan. Mungkin nanti jika emosiku sudah sedikit membaik aku akan menghangatkannya kembali dan memasak lauk tambahan.

Aku bergegas menuju kamarku dan Mas Fakhri berada. Sebelum memindahkan barang-barangku aku ingin sedikit lebih lama di sini. Menelusuri setiap sudut kamar
dengan pandangan mataku, berharap dapat menyimpan kenangan-kenangan yang bermunculan di ruang hatiku.

Sekitar setengah jam aku hanya duduk termenung menyerap semua ingatan yang pernah terjadi di sini. Selanjutnya barulah aku mulai mengeluarkan baju-baju yang menggantung dari dalam lemari. Tanpa melipatnya aku langsung membawanya ke kamar sebelah.

Di lantai dua ini ada tiga kamar, paling ujung di tempati Mama, lalu kamar yang berada di tengah adalah kamar yang aku dan Mas Fakhri tempati, dan sekarang aku berada di kamar paling pojok yang akan menjadi tempat tidurku. Yang menjadi pembeda antara ketiga kamar ini adalah balkon yang terletak di kamar tengah.

Jika ditinjau dari segi luas dan perabotan, ketiga kamar ini sama saja. Satu per satu barang-barangku dipindahkan ke kamar tamu, yang mengharuskanku bolak-balik. Tepat pukul sebelas semua barangku sudah berhasil kupindahkan ke kamar tamu, hanya saja belum ku tata dengan rapi barang-barangku itu aku hanya
menumpuknya.

Aku dan Mama makan dalam diam tak ada sapaan ataupun sesuatu yang dibicarakan. Makan malam kali ini benar-benar hening.

"Assalamualaikum." Apa aku tak salah
dengar? itu suara yang seminggu ini ingin kudengar.

"Waalaikum Salam, Alta." Mama langsung berdiri dan menyambut Mas Fakhri dan Sellia.

Kedua orang yang sekarang berdiri
mengenakan jaket dengan warna senada dan empat koper di samping meraka. Ya benar yang mengucapkan salam tadi adalah Mas Fakhri. Aku pun berdiri menyalami keduanya, meninggalkan makananku yang baru kumakan setengah.

"Ayo makan malam dulu," ajak Mama dengan antusias sambil menarik tangan Sellia.

"Tapi kami sudah makan di restoran sebelum pulang, Ma," ujar Sellia dengan wajah sumringah.

"Baiklah, kalian langsung istirahat saja ke kamar, ayo Alta bawa istrimu ke kamarmu, kalian pasti lelah karena penerbangan berjam-jam,"

Tak inginkah kau mengatakan sesuatu, Mas? Kabarku atau penjelasanmu yang tiba-tiba pergi ke luar negeri tanpa memberitahuku,
atau karena aku tak terlalu penting untuk tahu?
===

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang