Bacanya sambil dengerin lagu di mulmet ya. Lagunya Feby Putri--usik. Seperti Rara yang mengusik kenangan Daffin. Sebenarnya buat aku ngumpulin feel, semoga nyampe juga ke kalian. Happy reading
***
Ujian semester satu Minggu berhasil Rara lewati meski lebih banyak malasnya. Lima hari ini jamkos persiapan rapotan di hari Sabtu. Rara dan Samia tidak di kelasnya, malah duduk dengan nyaman di kelas tiga, lebih tepatnya duduk di bangku Ali dan temannya sedangkan pemiliknya sendiri ngacir ke kantin.
"Berdua sama Rara," ujar Ali menyerahkan satu kantung plastik berisi delapan tusuk mie telur gulung di tengah-tengah Samia dan Rara. Setelah itu, ia berjalan ke depan dan bergabung dengan teman-teman lelakinya.
"Makasih, Kak," balas Samia dan Rara serempak.
"Ra, Abang kamu ikut lomba classmeeting nggak?" tanya Samia setelah menghabiskan satu tusuk mie telur gulung. Sebenarnya ia sangat gatal ingin makan sambil cerita, sepertinya sudah ciri khas wanita tiap kali makan bersama pasti ada saja topik pembahasannya. Namun, Samia tetap mengedepankan ajaran kedua orangtuanya untuk tidak bicara sebelum menyelesaikan makannya.
"Nggak tau." Rara mengendikkan bahunya acuh, ia lebih fokus dengan makanannya yang sudah habis dua tusuk.
"Besok kan lomba voli, Ra."
"Besok?"
"Iya, hari Rabunya lomba basket, kamisnya bersih-bersih. Jumat rapotan Sabtu dikembalikan." Si paling hafal jadwal, langsung menjawab dengan lancar berbeda dengan Rara yang memegang teguh prinsip 'yang penting sekolah'. Sangat mewakili siswa kebanyakan.
"Rara nggak tau, nanti Rara tanya deh. Kalau Abang ikut kenapa?"
"Biar bisa pulang telat buat nonton lombanya, Ra." Alasannya, menonton Daffin tanding. Bakal diacc tidak? Sepertinya latar belakangnya kurang memuaskan ya.
"Mau Abang ikut atau nggak, Rara pasti ditemenin kalau mau nonton," sombong Rara dengan menaikkan alis sebelah kirinya.
"Nah, bagus. Aku jadi bisa izin ke Abi kalau gitu," seru Samia dengan semangat.
***
Sabtu, sepulang sekolah."Abang, Abang nanti mau liburan mau ke mana?" tanya Rara sembari mendongakkan kepalanya menatap Daffin yang tingginya seratus tujuh puluh satu cm.
"Tinggal di pesantren," balas Daffin tersenyum cerah mengingat ia sebentar lagi akan tinggal di pesantren. Lalu diskusi panjang lebar dengan Guz Azka, bukan hanya tentang Al-Azhar yang menjadi impiannya, tapi juga banyak hal random.
"Nggak bareng Umma sama Abah dong?"
"Abah setiap hari ke pesantren, Umma juga nganterin bekal buat Abah kalau jam ngajarnya lama. Kalau Abang di pesantren juga bakal sering dikirim makanan sama Umma," terang Daffin kepada Rara.
"Kalau Rara ke kafenya Abang boleh? terus nanti kalau Rara mau ikut Umma ke pesantren boleh? terus nanti kalau--" Daffin sangat menyukai Rara yang cerewet seperti ini, jika tidak cerewet bukan Rara namanya.
"Boleh, semuanya boleh."
"Kan Rara belum selesai, Bang," dengus Rara menggembungkan pipinya pertanda tak suka.
"Eh iya, Abah kan ustadz kenapa nggak belajar di rumah sama Abah aja?" tanya Rara penasaran. Namun, rasa penasaran itu mengusik sesuatu yang berusaha Daffin lupakan sejak dulu. Mengenai egonya yang lebih mementingkan mengejar tes masuk SMP favorit dan tinggal bersama neneknya dibandingkan menemani adiknya--Fia yang divonis hidupnya tak akan lama lagi.
Semua kenangan itu menyeruak dalam pikiran Daffin, membuat langkahnya terhenti dan lututnya lemas seketika. Bahkan gumaman Rara bagai angin lalu saking fokusnya ia pada sekilat ingatan yang terlintas itu. "Abang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}
EspiritualWanita itu .. mudah iba, mudah patah, mudah menangis. Hatinya dipenuhi kelembutan dan cinta yang tulus tersebab fitrahnya sebagai seorang wanita ia kerap kali diuji oleh Allah melalui hatinya. ~Vivi Yaumil Fadillah. Itulah yang dialami Annisa Haridz...