27. 1475 Bila Nanti✓

761 27 0
                                    


.

Selama di perjalanan aku sama sekali tidak tenang. Bagaimana jika kejadian tiga tahun lalu terulang kembali? dan aku merasakan kehilangan untuk yang kedua kali? Dengan perasaan kacau aku memasukkan baju-bajuku ke dalam koper.

Maafkan aku pergi tanpa izinmu, tak perlu khawatir aku akan baik-baik saja. Aku tidak ke rumah orang tuaku, jadi jangan cari aku di sana. Aku akan menghubungimu jika sudah saatnya aku kembali. Tolong izinkan aku Mas.
Dan ridhoi kepergianku. Annisa Kharidzah Salsabila.

Aku meletakkan selembar surat di atas nakas, lalu bergegas menuruni tangga dan keluar rumah menuju taksi yang menungguku. Keberuntungan masih berpihak kepadaku, masih ada tiket kosong yang akan berangkat beberapa menit lagi menuju daerah Jawa Timur. Ya tujuanku adalah pondok pesantren
tempatku dulu menimba ilmu. Aku yakin aku akan aman di sana, dan menenangkan diriku di sana untuk sementara waktu.

Aku melakukan ini dengan banyak
pertimbangan. Hal ini memang harus aku lakukan untuk melindungi diriku sendiri dan kandunganku. Tak akan kubiarkan kejadian tiga tahun lalu terulang kembali padaku di rumah ini. Pukul sembilan malam aku tiba di stasiun, tentu saja aku tidak ke pondok pesantren sendiri. Ada seorang kepercayaan ponpes yang akan menjemputku ke stasiun.
******
Aku menatap pintu gerbang pesantren yang sama sekali tak berubah saat aku meninggalkannya sebelas tahun lalu, aku menempuh pendidikan sd dan SMP di pondok pesantren ini, baru setelah lulus
keluargaku pindah ke Ibu kota dan aku melanjutkan sekolah di sana.

"Nisa!" seru seorang wanita yang seusia dengan Ibuku. Aku langsung menghambur ke pelukannya. Dia adalah guru sekaligus Ibu dari teman
kecilku. Ali Ghiffari.

"Umi." Umi Shilla membawaku ke
kediamannya. Aku masih hafal betul setiap ruang yang ada di pesantren ini.

"Nisa kamu bisa menempati kamar Ali," ucap Umi Shilla setelah membuka pintu rumah yang sebelumnya terkunci.

"Boleh Nisa tidur bersama Umi malam ini saja," pintaku.

Aku dan Umi Shilla memang sangat akrab, beliau sudah seperti Ibu kandungku sendiri. Begitupun Umi Shilla menganggapku seperti anaknya sendiri.

"Boleh sayang," ucap Umi Shilla mengelus kepalaku yang tertutup hijab. Umi sudah terlelap di sampingku, sementara belum juga bisa tertidur meskipun telah
memejamkan mata.

*******

Tanpa terasa sudah lima bulan aku
tinggal di pesantren, selama itu pula aku sengaja tidak mengaktifkan handphoneku ataupun menghubungi Mas Fakhri. Usia kandunganku sudah menginjak trimester kedua. Dan sudah nampak jelas layaknya orang hamil meski aku selalu memakai
gamish.

Saat ini aku sedang jalan-jalan ditemani sahabat masa kecilku, Ali. Sekedar untuk mengurangi bosan, sekaligus olahraga ringan. Orang bilang Ibu Hamil dianjurkan jalan-jalan pagi untuk mempermudah saat prosesi melahirkan dengan catatan tidak kelelahan.

Setelah merasa puas berjalan di luar ponpes, aku dan Ali kembali ke ponpes, istirahat sebentar di taman.
Dari arah depan, seorang santri mendekat ke arah kami, aku tak mengenalnya, namun jika dilihat dari raut wajahnya saat ini, ia tampak
marah dan menahan kesal.

"Jadi benar gosip yang dibicarakan para santri, Ustadz menghamili dia kan?" tuduhnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Tidak sopan sekali berbicara dengan Ustadz seperti itu. Ali masih diam membiarkan santri di hadapannya ini mengeluarkan semua  amarahnya, setelah ia diam dan terengah sambil mengatur napas barulah Ali angkat bicara.

"Annisa ini teman masa kecilku, kami
sudah dekat satu sama lain, bahkan Umi sampai menganggap Nisa sebagai anaknya sendiri. Dia sedang ada masalah dengan keluarganya, jadi dia tinggal di sini sampai melahirkan, kamu tidak usah salah paham, Zahra. Kami tidak ada apa-apa," ucap Ali
menjelaskan. Aku memang telah menjelaskan semuanya kepada Ali dan Umi mengenai permasalahan
keluargaku. Dan niatku yang akan tinggal di sini sampai melahirkan.

Tiadakah Surga yang Lain? {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang