Part 63

6.4K 411 1.3K
                                    

Rintiik hujan membasahi jalanan saat seorang lelaki menggandeng masuk seorang wanita kedalam sebuah café. Bersamaan dengan keduanya melangkah kedalam café bergaya vintage eropa itu, hujan diluar turun semakin lebat. Lelaki itu tersenyum saat wanitanya menggosok telapak tangannya. Tanpa bicara, ia mengganggam tangan itu, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya ke telapak kekasihnya.

Lelaki itu tersenyum tipis saat menatap wajah kekasihnya yang pucat memerah. Ia mengedarkan pandangannya, mencari kursi yang cocok untuk mereka berdua duduk menghabiskan waktu sembari menunggu hujan reda. Ia mengangguk saat wanitanya menunjuk kursi 2 orang di sudut. Tepat setelah keduanya duduk, seorang waiter dengan kemeja hitam menghampiri mejanya.

"Selamat sore, Miss Shania," sapa waiter jangkung itu yang langsung mengenali sosok Shania dan Bobby dengan sekali pandang. Ia tersenyum dan memberikan buku menu kepada sepasang kekasih itu dan mencatat pesanan mereka. Setelahnya, ia pamit untuk memberikan catatan pesanan keduanya langsung ke barista.

"Gimana kuliah kamu? Lancar kan?" tanya Bobby yang mengamati wajah Shania yang mulai kembali, tidak sepucat sebelumnya.

"Lancar kok. Kamu gimana, by? Jadi wisuda kapan?"

"Februari akhir, Nju. Kamu bisa dateng?" tanya Bobby. Sorot matanya menunjukkan harapan yang besar untuk peng-iya-an dari Shania. Ia menghela napas saat Shania diam merenung, "Tapi kalo enggak bisa gak apa kok,"

"Bukannya enggak bisa, by. Aku enggak tau bisa atau enggaknya. Januari aku udah mulai koas lagi soalnya," jelas Shania dengan cemberut, "Kamu sih. Udah ditawarin kan sama bos kamu mau kuliah di London, Singapur, atau Melbourne. Kenapa milih Melbourne sih? Kalo di London kan kita bisa ketemuan tiap weekend,"

"Dan aku bisa lebih mantau kamu, by,"

"Bukan gitu, Nju. Kamu tau kan kalo aku diharepin bisa masuk dan nguatin tim divisi keuangan perusahaan Pak Andreas? Aku masih asing sama perusahaan gede itu, Nju. Aku ngerasa berkewajiban buat ngenal lebih jauh perusahaan itu. Gak asal di kasih beasiswa terus masuk ke tim audit divisi keuangan," jelas Bobby dengan pelan. Ia tahu keinginan Shania dengan jelas, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kewajibannya begitu saja, "Jangan sedih, Nju. Nanti program master aku usahain buat ke UK sekalian nemenin kamu,"

Shania menunduk. Ia berharap semua ucapan Bobby benar apa adanya. Ia mendongak saat mendengar suara gaduh dari tangga. Matanya menyipit saat suara tawa Gracia terdengar. Ia menatap tajam pada bule cantik yang berjalan mengikuti sang adik.

Beberapa hari lalu dirinya sudah bertemu dengan sahabat Gracia dan sepupu Shani itu, Luna Ricci. Walau di foto yang Gracia upload bule Italia itu terlihat konyol dan kekanak-kanakan, sosok Luna sebenarnya terhitung dewasa. Bagaimanapun, garis wajah dan suara wanita muda itu sangat dewasa.

"Loh, lo ngapain disini?" tanya Gracia setelah melihat kearahnya. Ia berjalan santai menuju meja yang ditempati Shania dan Bobby. Ia menarik kursi lain di dekat keduanya dan ikut bergabung dengan kakaknya, "Eh, Lun, kenalin nih, kakak gue. Kak, ini temen gue waktu di Swiss,"

"Luna,"

"Shania,"

"Lo ngapain liatin gue kaya gitu, kak?" tanya Gracia dengan aneh saat Bobby menatapnya dalam diam, "Jangan naksir gue. Gue dah punya,"

Shania dalam hati memuji bagaimana Gracia mengendalikan arah obrolan mereka. Walau cemburu, ia harus mengakui cara Luna menggoda Bobby dalam diam. Jika saja dirinya tidak mengetahui apabila Luna telah memiliki kekasih yang sedepartemen dengannya, mungkin ia akan melabrak selebgram satu ini. Untunglah dari pertemuannya dengan Luna beberapa waktu lalu ia bisa mengetahui dan mengira-ngira pembawaan sahabat adiknya ini.

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang