Part 33

6.8K 457 78
                                    

Sore yang tak jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya. Sejumlah mobil berjajar rapi di jalan, menunggu kendaraan didepannya bergerak. Suara sirine ambulan maupun sirine kendaraan operasional kepolisian pun terdengar samar-samar sebelum akhirnya menghilang. Sesekali terdengar suara klakson karena pengemudi nakal yang asal memotong lajur kendaraan lain. Untungnya, awan kelabu menutupi langit sore ini, cukup untuk meredam emosi para pengguna jalan.

Hembusan angin bersuhu rendah dari mesin pendingin ruangan menyentuh kulit putih seorang gadis yang sedang duduk diam di sebuah café ternama di pusat kota. Jemari lentiknya sibuk memainkan tepi cangkir kopi hitam pesanannya yang kini tinggal setengah. Beberapa orang yang melintas disekitarnya menundukkan kepala dengan hormat dan takut, bukan karena apa melainkan karena gadis itu tak lain adalah putri bungsu pemilik perusahaan konstruksi Avlon Group, Shania Gracia Avlon.

Sebuah Airpods putih menghiasi telinga kanannya, menghantarkan lagu yang terputar dari ponsel hitamnya yang tergeletak di samping cangkir kopinya. Sebuah helaan napas lolos dari mulutnya saat ia melihat seorang bule berambut coklat kepirangan duduk dengan asal dihadapannya, seseorang yang ia tunggu hampir satu jam lamanya di meja VVIP yang terletak terpisah dari meja lainnya di sebuah ruangan kecil terpisah.

"Gimana gaya gue?" tanya lelaki itu dengan senyum lebar mengihasi wajah tampannya.

"Udah telat, dateng gak minta maaf dulu, malah tanya gaya. Manusia macam apa lo, wahai Daniel Sahn?" sinis Gracia yang hanya dibalas dengan tawa lelaki bernama Daniel itu.

Gracia mengamati penampilan lelaki yang sejatinya adalah kembaran kenalannya dari Swiss saat ia SD dahulu. Rambut coklat kepirangannya yang sebahu itu dibiarkannya terurai sedikit berantakan, memberikan kesan messy yang kental. Beberapa buah tindik menghiasi tepian daun telinga sebelah kanannya. Lelaki 178 cm itu mengenakan kaos putih dibalut jaket denim yang menutupi tubuh atletisnya, ditambah celana khaki selutut dan sepatu kets santai.

"Kalo lo butuhnya sama adek gue, si Oliver, kenapa lo juga minta gue dateng juga?" tanya Andrean yang bingung saat Gracia hanya diam dan memilih mengutak atik ponselnya.

"Karena gue ada tugas tersendiri buat lo, bang. Lo mahasiswa Wharton, kan? Otak lo pasti encer. Karena itu, gue kasih lo tugas bareng Bang Andreas, Bang Lukas, sama Bang Oliver buat nyiptain gelombang krisis dengan sasaran utama Avlon Group," jelas Gracia yang diikuti tatapan remehnya pada Daniel, "Sanggup gak lo? Kalo gak ya, sorry, gue gak ngejamin kerjasama antara gue dan Bang Andreas ke perusahaan keluarga lo bakal bertahan lama,"

"Urusan kecil itu. Bakal gue siapin. Lo tinggal kasih tanggal mainnya dan semuanya bakal sesuai ekspetasi lo," jawab Daniel dengan bangga.

"Dan, satu lagi tugas lo," lanjut Gracia yang tersenyum tengil menatap Daniel, "Pura-pura jadi pacar gue setiap saat gue butuh. Jangan Khawatir, identitas lo sama bang Oliver bakal tetep aman dan tersembunyi,"

"APAAN! GAK! Gue gak mau sama bocah kaya lo," tolak Daniel mentah-mentah namun segera menunduk saat menyadari kesalahannya, "Serah lo aja deh, pasrah gue punya kenalan kaya lo,"

"Gitu dong. Yuk pindah kemeja biasa didepan. Jangan lupa buat acting yang baik atau lo gue pecat," titah Gracia yang menendang kuat betis Daniel saat lelaki itu merengkuh pinggangnya begitu saja bahkan saat ia baru saja bangkit dari duduknya.

"Maksud lo apaan sih? Tadi nyuruh acting yang bagus, udah gue lakuin lo malah menganiaya gue gini," kesal Daniel yang berhadiah kekehan dari si pelaku.

Gracia memasang ekspresi masa bodonya saat ia mendapat tatapan penuh iri dari pengunjung lain café. Dengan cuek ia menggandeng mesra lengan kiri Daniel yang berjalan menuju sebuah meja yang berada di sudut café. Ia memilih memainkan ponselnya saat Daniel memesan makanan pada waiter café.

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang