Part 28

7.5K 533 64
                                    

Jalanan tampak ramai malam ini. Antrean panjang kendaraan tampak memenuhi jalan protocol, hal yang wajar terjadi di jam pulang kerja seperti sekarang. Café dan rumah makan yang berjajar ditepi jalan tampak ramai oleh pengunjung. Salah satunya adalah café dengan nuansa kombinasi eropa nusantara yang baru dibuka beberapa bulan sebelumnya. Bangunan 2 lantai yang luas itu tampak penuh oleh kalangan muda dan pebisnis yang singgah untuk beristirahat.

Denting lonceng yang terpasang di pintu berbunyi, pertanda ada seseorang yang masuk ataupun keluar. Dua orang gadis dengan masker hijau menutupi wajah tampak berjalan memasuki café. Keduanya langsung menjadi pusat perhatian pengunjung café karena keduanya langsung dihadang oleh security. Disaat gadis yang lebih rendah akan buka suara, sosok berambut cepak berjalan menghampiri kedua gadis itu.

"Dia yang saya maksud, pak," ucap sosok berambut cepak yang tak lain adalah pemilik café itu, Ghaida, "Ayo ikut gue keatas, Gre, Shan,"

Tidak menuruti apa yang Ghaida katakan, gadis dengan kaos dan celana batik justru berjalan menuju dapur, dimana sejumlah juru masak dan pegawai dapur lainnya bekerja. Mengabaikan tatapan sinis yang ia terima, gadis itu langsung menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral.

"Mbak, maaf. Jika mbak ingin mengambil air, mbak harus memesan dahulu di depan. Area dapur adalah area khusus staff dan karyawan," tegur seorang pramusaji dengan sopan.

"Gue tau. Tolong bayarkan kedepan, ya?" jawab Gracia yang mengeluarkan selembar uang merah dari saku celana batiknya kepada pramusaji itu, untung saja tadi ia sempat merampok isi dompet Shani di mall tempat mereka memarkirkan sedan hitam yang mereka kendarai, "Ambil saja kembaliannya,"

Gracia mengabaikan tatapan aneh seisi dapur dan memilih langsung menuju tangga. Lagi, ia mendapatkan teguran dari staff yang baru saja keluar dari ruang penyimpanan.

"Mbak, mohon maaf sebelumnya. Lantai 2 adalah tempat terbatas untuk bos dan tamu penting yang bos undang," tegur seorang staff dengan seragam kasir.

"Saya juga orang penting, mbak," jawab Gracia dengan polos sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Dasar bocah. Gue yang kerja di Avlon Group aja gak bisa ngebooking lantai 2. Apalagi lo yang, huh, merusak pemandangan," balas seorang pria yang duduk dimeja dekat tangga.

"Kalau boleh tau, nama dan jabatan bapak apa ya di Avlon Group?" tanya Gracia yang membuat hampir seisi café melihat kearahnya.

"Damar Hendrawan, wakil kepala bagian divisi keuangan A," jawab pria itu dengan sombong.

Gracia hanya menatap datar pada pria yang asing di ingatannya itu. Seingatnya, tidak ada pria menyebalkan ini di jajaran atas divisi kantornya, terutama divisi keuangan yang sering berurusan dengannya. Gracia menatap sejumlah orang yang duduk di sofa bersama pria itu. Gracia mengenal beberapa dan semuanya adalah staff muda yang baru beberapa bulan bergabung dengan Avlon Group.

Gracia menatap sekelilingnya dan melihat ia masih menjadi pusat focus 70% pengunjung café. Dengan santai Gracia berjalan mendekat dan berdiri tepat disamping pria itu. Diamatinya dengan lekat sosok dengan setelan formal yang kini cukup berantakan.

"Kenapa lo liatin gue kaya gitu? Mau nyoba sama gue?" tanya pria itu dengan smirk di wajahnya.

"1000 tahun lebih awal untuk bapak mengucapkan hal seperti itu," jawab Gracia dengan sinis, tepat saat ia ingin mengucapkan kata lainnya, seorang lelaki atletis yang baru saja keluar dari kamar mandi menginterupsinya.

"Selamat malam, Miss. Apa miss punya masalah?" tanya lelaki atletis itu dengan sopan dan ramah saat tahu bosnya berdiri didekat meja.

Munculnya lelaki itu dan sikapnya yang sangat sopan memunculkan sebuah tanda tanya di benak para pengunjung café, terutama 9 orang yang duduk di sofa melingkar itu. Lelaki yang menyapa Gracia adalah seorang kepala divisi intel Avlon Group, Lukas Aryaga.

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang