Part 62

8.5K 433 1.6K
                                    

Pagi yang cerah di Manchester. Jalanan terlihat sepi mengiat jam masih menunjukkan pukul 6 pagi waktu setempat. Hangatnya sinar matahari musim panas memberikan nuansa menyebalkan bagi seorang gadis yang menyeret masuk sebuah koper kecil dari taksi yang berhenti di depan sebuah unit apartemen elite di jantung kota.

"Loh, udah sampe?" bingung Shania saat ia bertemu dengan Shani dan Gracia di lobby, "Kok gak bilang sih? Kan bisa gue jemput,"

"Hp lo apa kabar?" kesal Shani. Hampir sejam lamanya ia mencoba menghubungi Shania yang selalu dijawab oleh operator.

"Hp gue mati. Hehe. Peace," cengir Shania, "Heh, lo kangen gak sama gue?"

"Gak," balas Gracia dengan asal, "Ayo buruan. Mana kamarnya. Gue capeeek,"

Gracia menyeret kopernya mengikuti Shania dan Shani menuju lift. Ia tertegun saat melihat desain interior flat apartemen dengan 3 kamar yang selama ini ditempati kedua kakaknya. Rapi dan wangi memang. Ia bisa menebak siapa yang bertanggung jawab atas apartemen yang akan ditempatinya mulai sekarang ini.

"Ini interiornya suram gini pasti Shani yang nata," cibir Gracia. Interiornya hanya terdiri dari 3 warna; navy, abu-abu tua kebiruan, dan abu-abu muda. Warna yang cocok untuk memberikan kesan tenang dan dingin, "Aku kira apartemen kalian seluas lapangan basket,"

"Gak usah aneh-aneh. Shani yang minta disini,"

"Ya iyalah. Lo kira gue art pribadi lo yang bisa disuruh bersih-bersih apartemen sendirian? Lo pulang buat tidur doang aja banyak mau," kesal Shani.

"Heh, jadwal gue emang sibuk. Ya lo aja yang kesantaian,"

"Salah lo sendiri ambil medical. Kalo lo ambil bisnis ya bisa pulang siang terus,"

Gracia menatap pertengkaran dua seniornya ini tanpa minat. Ia menyeret kopernya masuk ke dalam kamar yang berada di ujung. Dengan berbinar, ia menatap keluar dinding kaca yang menyuguhkan view kota Manchester. Namun, dengan segera, ia menarik gorden untuk menutupi dinding yang menjadi sumber cahaya itu. Menjadikan kamar itu remang seketika.

Gracia merebahkan dirinya dengan lemas setelah memindahkan kopernya ke kamar Shani. Padahal hanya membawa 2 set piyama, dua set pakaian santai, jaket kesayangannya, selimut favoritnya, dan tentu saja pakaian dalam; tetapi, entah mengapa ia merasa sangat lelah memindahkan koper kecilnya.

"Sayang, mandi dulu,"

"Hm,"

"Ayo mandi dulu hish. Biar enak istirahatnya,"

Gracia mengerang saat Shani memaksanya untuk bangun. Ia dengan sebal melepas kaos kaki dan jaketnya sebelum masuk kedalam kamar mandi. Tidak begitu lama, ia keluar dengan wajah tertekuk. Ekspresinya menggelap saat Shani yang membereskan isi kopernya tertawa.

"Gak usah ketawa!"

"Iya, gak ketawa iyaa," pasrah Shani. Ia menatap sok polos pada sang kekasih yang terlihat ingin membuangnya dari balkon, "Apa? Aku udah gak ketawa loh,"

"Handuknya dimanaaaaa? Gak usah sok gak berdosa deh,"

"Ohh, handuk. Aku kira kamu mau langsung keluar gitu aj-aaaaa iya, ampun. Sukanya cubit-cubit. Panas tau," gerutu Shani. Ia bangkit, mengambil handuk dari lemari pakaiannya dan memberikannya kepada Gracia. Tetapi, saat Gracia mendekat dan hendak mengambil handuknya, ia mencuri sebuah kecupan terlebih dahulu, "Jangan marah-marah dong. Gak seneng ya sekamar sama aku?"

"Gak gituuuu. Tau ah. Kamu ngeselin,"

Shani tertawa saat Gracia mencium pipinya dan langsung pergi ke kamar mandi. Dengan senyuman tipisnya, ia berjalan menuju pantry dan menyiapkan roti selai untuk Gracia. Ia memang lelah karena 19 jam perjalanan dari Jakarta. Tetapi, dirinya tidak ingin Gracia sakit karena melewatkan jam makan. Jadi, pasti ada yang harus berkorban kan?

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang