Dua hari sebelum keberangkatan Mola Bell ke guam. Amerika Serikat.
Mola meringkuk di balik selimut, perutnya sudah mulai memberikan sinyal kepada otak. Mola bangun tepat pada pukul sepuluh pagi, baru kali ini wanita itu bangun setelat ini. Merapikan tempat tidur, menyisir rambut dan mengikatnya asal, gadis itu turun untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan. Hari ini ia menginap di rumah orangtuanya, katanya rindu.
Melihat ke meja makan, ia tidak menemukan apapun. Matanya dengan cekatan menatap sekarton mie yang diletakkan di atas meja. Jiwa pencurinya kembali berkobar, ia tahu ini milik Adik lelakinya. Tapi masa bodoh, selagi bocah tengil itu tidak ada di sini ia akan leluasa memakan miliknya.
Mengambil salah satu panci mini dan menuangkan air mineral ke dalamnya. Menyalakan kompor gas dan menaruh panci mini milik Ibunya di atas kompor. Sambil menunggu ia bersenandung kecil, mengeluarkan ponsel yang ia kantongi dan membuka salah satu aplikasi di dalamnya. Mengatur waktu menjadi sepuluh menit.
Mola mengambil bumbu dan menuangkannya ke dalam mangkok. Ia suka mie pedas. Uap air naik pertanda bahwa air siap untuk merebus mie. Mola dengan cekatan menaruh mie ke dalam air mendidih dan menunggu mie tersebut hingga lembek.
Memegang ganggang panci dan memiringkannya ke arah mangkok agar mie beserta kuahnya juga tumpah setelah itu ia aduk sampai rata. Tidak lupa, ia juga menambahkan cabai yang sudah dihaluskan.
Makan dalam diam adalah hal yang Mola sukai, namun semuanya seakan menguap ketika Ayah dan Ibunya pulang dari mall, di tambah lagi dengan Adik lelakinya. Lelaki berusia sembilan belas tahun itu mendelik ke arah Mola ketika tahu mienya sudah tersentuh.
"Mengapa tidak izin dulu?" Lelaki itu menghempaskan bokongnya secara kasar ke kursi.
"Ya. Aku meminta izin." Mola memainkan kedua alisnya dengan menaik turunkan, mengejek Adiknya.
"Kau terlihat jelek jika seperti itu." John menatap dingin Kakaknya sambil memakan camilan yang ia beli.
"Tidak berkaca atau bagaimana John?"
"Diamlah! Dan cepat bantu Aku," John menekuk wajahnya kesal.
"Tip,"
"Ya, sudahku persiapkan tip untukmu. Sekarang tolong temani sahabatku untuk pergi ke mall." John bangkit dan mendekat ke arah Kakaknya. Ia melemparkan sebuah amplop yang diyakini Mola sebagai tip.
"Terimakasih! Aku akan bersiap, suruh sahabatmu itu untuk datang kemari ya!"
"Menyebalkan! Baiklah cerewet." Ia berlalu ke depan.
Derap lengkah menggema, orang-orang berlalu-lalang sambil membawa sekantong plastik. Para pekerja di mall saling berlomba-lomba mempromosikan barang-barang atau makanan. Dua gadis yang memiliki umur tak beda jauh, lari ke satu toko ke toko yang lain sambil menenteng belanjaan mereka. Membelah kerumunan, memburu makanan-makanan yang mereka suka. Puas dengan jalan-jalan singkat, mereka segera pulang.
Suara keributan terdengar dari dalam. Wanita yang baru saja pulang dari mall itu berlari ke dalam rumah dengan perasaan cemas, tak biasanya ada kebisingan dari dalam rumah.
"Kau gila?! Aku tak akan mengizinkan anak gadisku untuk pergi!"
"Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?" Mola muncul dari ambang pintu dengan kerutan di wajahnya.
"Kau direkrut Jasson Vescovo untuk melakukan misi di perairan guam."
"Eh?! Yang benar saja?!" Mola berlari ke arah Ayahnya. Pria itu menyodorkan surat yang diyakini Mola ada surat yang dikirimkan Jasson Vescovo langsung kepadanya.
"Ibu tak mengizinkan kau pergi dalam misi ini." Wanita paruh baya itu memutar tubuhnya dan berjalan ke arah kamar, mendadak kepalanya menjadi pening.
Mola ingin mengejar namun Ayahnya menahan dirinya. "Biar Ayah saja yang bicara dengan Ibumu, kau pulanglah dan kemasi barang-barangmu." Mola mengangguk riang. Ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang untuk mengantarnya pulang.
"John?" panggil Mola.
"Ya, Aku tahu." John berjalan keluar untuk memanaskan mobil Ayahnya.
Hari keberangkatan.
Di sini ia berpijak. Gedung-gedung tinggi menjulang di atasnya. Cengiran wanita itu tak pernah pudar ketika mengingat Ayahnya selalu bisa membujuk Ibunya. Menarik koper hitam miliknya, matanya dengan cekatan melihat bangku-bangku yang masih kosong untuk duduk. Dari arah belakang John mengikuti Kakaknya. Ia ditugaskan untuk mengantarkan Mola.
"Kapan keberangkatanmu?" John tidak melirik Mola, ia fokus ke depan.
"Lima belas menit lagi." Mola menatap John yang duduk di sampingnya. "Jaga Ayah dan Ibu dengan baik, jangan membantah ucapan mereka John."
"Ya. Aku tahu itu, berapa lama kau pergi?"
"Tidak tahu. Mungkin tiba di sana baru diberi kepastian,"
"Oke,"
"Kau tahu John? Aku sangat menanti saat-saat seperti ini. Menyelam ke dalam palung itu adalah impianku," katanya.
"Kau sangat memuja lautan ya?" John balas menatap Mola.
"Ya, mereka sebiru batu Aquamarine, Aku menyukainya,"
"Ya. Aku tahu itu. Jaga diri baik-baik,"
"Tentu."
[ M A R I A N A T R E N C H ]
Terimakasih telah membaca cerita ini, saya tahu cara kalian menghargai seorang penulis. Luangkan waktu sejenak untuk meninggalkan jejak berupa bintang-🌟 itu akan sangat membantu saya dalam berkarya. Jangan mengcopas cerita ini, saya tidak mengizinkan siapapun untuk mengcopas cerita saya. Terimakasih.
Minggu, 28 Maret 2021. [Draf]
Minggu, 4 April 2021. [Publish]
KAMU SEDANG MEMBACA
Mariana Trench [Completed]
Ciencia FicciónTim cadangan yang direkrut Jasson Vescovo terjebak di palung mariana sehingga harus dilakukan misi penyelamatan. Misi penyelamatan itu lah yang menjadi kisah yang penuh dengan tantangan manusia. Ditulis pada tanggal, 27 Maret 2021. Dipublish pada t...