3 - 19

290 39 4
                                    

Langit mulai menggelap, sang surya perlahan-lahan kembali ke peraduannya. Orion menatap intens beberapa artikel yang ia baca tentang mutan. Tidak ada yang mampu menjawab satu-persatu pertanyaannya. Menarik nafas gusar, ia mengusap rambutnya dengan asal-asalan. Dering ponsel terdengar, atensinya teralih ke benda pipih tersebut. Layarnya menampilkan nama Ayahnya. Tersenyum simpul dan mengangkat telfon dari Ayahnya. Suara khas milik lelak itu terdengar dari seberang ketika sudah tersambung.

"Apa kabar?"

"Baik, bagaimana dengan Ayah?"

"Seperti biasa, kesepian tanpamu," Orion tertawa renyah.

"Aku akan pulang secepatnya," katanya, tapi tak yakin dengan apa yang ia katakan.

"Ada seseorang yang mencarimu," Lelaki itu berdehem sejenak. "Hana,"

Orion terpaku beberapa saat, nama itu. Ia mengenalnya. "Untuk apa?" Nada suaranya menjadi dingin, seolah tak tertarik dengan pembicaraan ini.

"Ingin ketemu katanya, rindu," Orion berdecih.

"Suruh dia pulang. Aku tak ingin bertemu dengannya," Abian Wilson tertawa di seberang sana, membuat kerutan dikeningnya kian bertambah.

"Masih marah ternyata. Tak ada, saya hanya bercanda,"

"Tidak. Hanya ingin menjauh darinya saja," katanya.

"Ya terserah kamu saja. Jangan lupa makan," Orion mengangguk, setelah mengucapkan kata perpisahan sambungan telfon terputus. Orion terdiam sejenak, mencari nama seseorang di dalamnya dan menekan tombol hijau untuk menghubunginya.

Orion terdiam, menunggu telfonnya diangkat, jakunnya naik turun takut lelaki itu tak mengangkatnya.

"Halo paman. Saya Orion Wilson,"

"Halo, apa kabar nak? Pamanmu ini rindu padamu," Orion tertawa dia--Qiora White, kolega Ayahnya--Abian Wilson.

"Baik paman, bagaimana dengan paman sendiri?"

"Baik. Ada apa nak? Katakan saja," Orion meringis, bahkan Qiora tahu bahwa ia akan meminta bantuan.

"Eksplorasi palung mariana kemarin, kami diserang mutan paman. Aku berhasil mengambil bagian tubuhnya. Jadi, apa paman bisa meneliti jari telunjuk mutan?"

"Mutan? Kau tak bercanda kan Orion?"

"Tidak paman. Aku mengatakan yang sebenarnya. Jadi apa paman bisa meneliti jari mutan yang Aku ambil?"

"Tentu, kau di mana nak?"

"Oceanographic Scientific Oraganization,"

"Kebetulan saya sedang di guam dalam rangka membahas terobosan baru Adolf Laboratory, datang ke sisi barat pulau guam, malam ini. Jam dua belas, jangan terlambat nak," Qiora mematikan sambungan telfon. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul sepuluh. Kaki jenjangnya membawanya ke depan pintu kamar Taksa. Orion mengetuk pintu itu, berharap Taksa belum kembali ke peraduannya.

Taksa keluar dengan wajah bantalnya, ia meringis karena sudah membangunkan seseorang malam-malam begini.

"Ada apa? Kenapa mengetuk pintu?"

"Cuci wajahmu, kita akan mengantar jari mutan kepada salah satu kolega Ayahku,"

"Sebentar, lima menit saja."

Hamparan laut membentang luas sejauh mata memandang. Taksa dan Orion saling melirik. Menatap Brown yang sudah siap di dalam heli.

"Terimakasih. Setelah membeli buku yang Taksa inginkan kami akan segera pulang," Taksa melirik Orion dengan ekor matanya, namanya dipakai untuk berbohong.

"Cepat, naik. Kita tak punya banyak waktu. Seseorang akan datang ke pangkalan dan memakai heli ini juga." Orion mengangguk dan segera naik. Memasang sabuk pengaman dan duduk tenang, ia menyembunyikan kotak hitam yang berisi jari mutan dari balik bajunya.

Taksa menatap jalan raya yang masih ramai. Orion terdiam, memikirkan cara untuk pergi ke sisi barat pulau guam.

"Sekarang bagaimana?" Orion melirik Taksa sekilas namun atensinya teralihkan ketika mobil sedan hitam melaju cukup kencang ke arah mereka, ia menarik kerah baju Taksa agar mundur. Decitan ban terdengar memekakkan telinga, Taksa mengelus dada dan menyebut nama Tuhannya.

"Butuh tumpangan Tuan?" Orion dan Taksa saling melirik.

"Ya." Orion masuk lebih dulu dan duduk di depan. Ia menatap sopir taksi yang sibuk mencari lagu untuk memutarnya. Sedangkan Taksa duduk dibangku bagian tengah.

"Bawa kami ke sisi barat pulau guam, akanku naikan bayarannya menjadi dua kali lipat," kata Orion.

"Bisa makan enak hari ini," gas diinjak, mobil melaju membelah jalan raya, Orion melirik Taksa dari kaca spion.

Suasana hening, Orion menatap hamparan laut yang membentang luas di hadapannya, ia menepuk pundak Qiora. Lelaki itu sedikit mengejang karena kaget.

"Tepat waktu seperti biasa. Kau selalu disiplin seperti Ayahmu," Orion mengangguk dan mengeluarkan kotak hitam yang ia sembunyikan dari tadi.

"Perkenalkan dia temanku, Taksa Buana," Qiora dan Taksa saling berjabat tangan, Orion menyerahkan kotak hitam itu. "Salah satu pilot kami tewas dalam kejadian yang tidak mengenakan kapal selam kami juga ditarik. Tolong teliti jari mutan ini paman,"

Qiola membuka kotak hitam itu, ia meneliti jari telunjuk pucat di dalamnya. "Tenang saja. Saya akan mempelajari sampel ini,"

"Ini rahasia diantara kita bertiga saja paman, jangan beritahu siapapun apa lagi Ayah,"

"Abian tidak akan tahu tentang ini."

SELESAI



[ M A R I A N A  T R E N C H ]



Terimakasih telah membaca cerita ini, saya tahu cara kalian menghargai seorang penulis. Luangkan waktu sejenak untuk meninggalkan jejak berupa bintang-🌟 itu akan sangat membantu saya dalam berkarya. Jangan mengcopas cerita ini, saya tidak mengizinkan siapapun untuk mengcopas cerita saya. Terimakasih.

Minggu, 4 April 2021. [Draf]

Minggu, 4 April 2021. [Publish]

Mariana Trench [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang