Dvr|19

879 136 10
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Azka sedang berada di kamarnya dan berniat menyejukkan pikiran yang semakin hari kian berasap. Azka begitu bingung ketika dia melihat wujud Davina ada dalam diri seseorang yang baru ia temui beberapa hari yang lalu. Terkejut, jangan ditanya. Azka begitu kaget ketika melihat wajah polos Devira yang sekilas begitu mirip dengan sang adik. Jantung Azka berdetak dua kali lebih cepat terlebih lagi ketika mendengar gadis berkacamata itu mengeluarkan suaranya.

Suara itu ... begitu mirip dengan Davina. Tapi, dengan nada yang sangat jauh berbeda. Dahulu Azka hanya mendengarkan suara Davina saat gadis itu merintih kesakitan dan berbicara ketus padanya saja, tidak lebih. Tapi, entah kenapa dengan melihat Devira, membuat pikiran Azka tambah kacau.

Azka duduk di kursi belajar sambil melihat pigura yang ada di atas meja belajarnya. Benda itu menampilkan potret Davina bersama dirinya saat ia berumur 5 tahun dan Davina berumur 3 tahun. Raut wajah Davina sangatlah ceria di dalam jepretan yang diambil oleh Reinaldo tersebut. Azka begitu merindukan sosok Davina dalam hidupnya. Davina yang begitu sabar ketika mendapatkan bentakan, Davina yang begitu kuat ketika mengalami cobaan, dan Davina yang selalu menampilkan senyumannya.

"Kamu bahagia di sana, ya, Vin ... jangan nakal, tungguin Abang ke sana nanti," lirih Azka.

Indra pendengar Azka menangkap suara keributan dari lantai bawah. Mendengar hal itu dia langsung bangkit dan sesegera mungkin untuk turun ke bawah, melihat apa yang terjadi di sana. Dia sangat khawatir ketika mendengar suara yang terlihat seperti pecahan barang berbahan dasar keramik atau sesuatu semacamnya karena di rumah ini hanya ada dirinya dan juga Ivona. Azka takut kalau Ivona kembali melakukan hal-hal yang tidak disangka-sangka.

"Ma? Ada apa?" teriak Azka sambil berlari menuruni anak tangga. Dia semakin khawatir pada sang ibunda ketika tidak mendapati jawaban dari wanita paruh baya itu.

Azka melirik ruang keluarga dan mendapati sang ibunda tengah terduduk di lantai. "Astagfirullah, Mama?" Dengan cepat Azka menghampiri Ivona dan memastikan keadaan sang ibu baik-baik saja.

Dilihatnya sang ibu tengah membersihkan pecahan gelas yang ingin dibawa oleh wanita paruh baya itu ke kamarnya. Tapi, entah kenapa kepala Ivona terasa seperti di tusuk sesuatu—pusing— saat berada di ruang keluarga dan alhasil gelas bening yang berisi air minum itu terjatuh membuat gelasnya pecah.

"Mama ba—" Tiba-tiba saja ucapan Ivona terhenti karena dadamya terasa sangat sesak dan ia sangat sulit untuk menarik dan mengembuskan napasnya secara teratur. Melihat hal itu, membuat Azka panik dan dengan cepat ia membopong tubuh Ivona menuju sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya berada sekarang.
Setelah itu, ia berlari ke kamar utama yang ditempati oleh Reinaldo dan Ivona untuk mencari beberapa obat yang mungkin bisa membantu meredakan sakit yang dialami oleh Ivona.

Sesak napas yang dialami Ivona itu terjadi karena dirinya tengah memikirkan dan juga mencemaskan suatu hal sejak tragedi pecahnya cangkir secara langsung dari tangannya. Dia begitu khawatir kepada Devina dan juga Reinaldo yang tidak berada di rumah bersamanya saat ini. Dengan kata lain, gejala-gejala gangguan kecemasan kembali muncul dalam diri Ivona.

Azka tiba dengan membawa segelas air mineral dan juga beberapa obat yang mungkin mampu memberikan rasa tenang pada diri Ivona. Azka melihat tubuh Ivona mulai mengeluarkan keringat dingin dan itu pertanda bahwa gangguan kecemasan yang ada kembali datang tanpa diundang.

"Ma, minum dulu, Ya." Perintah Azka membuat Ivona mengangguk dan langsung menyedot air mineral yang anaknya bawakan itu.

"Mama mikirin apa? Jangan terlalu dipikirin, Ma, gak baik buat kesehatan,"  kata Azka sambil membantu sang ibu untuk kembali bersandar di sofa itu. Ivona kembali mengangguk untuk menjawab nasihat Azka yang memang betul adanya.

Tiba-tiba saja ponsel pintar milik Azka mulai mengeluarkan suaranya pertanda ada panggilan masuk. Azka melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Devina. Azka langsung menggeser ikon telepon ke lingkaran berwarna hijau untuk menjawab panggilan itu.

Tiga puluh menit sebelum ponsel Devina menghubungkan panggilan ke Azka, gadis itu tampak tengah berjalan melintasi trotoar, tanpa arah dan juga dengan tatapan yang kosong.
Devina baru saja keluar dari gedung sekolahnya setelah sekian lama menunggu siswa dan siswi Tri Sakti pulang terlebih dahulu.

Gadis itu mengemban beban penyesalan yang amat berat. Dirinya sangat tidak sanggup hidup dengan dihantui rasa bersalah seperti ini. Tapi, dia juga belum siap untuk bertemu ajal dan juga menyusul Davina, Aldo dan Kakek Neneknya yang sudah lama meninggalkan dunia.

"Kenapa dunia selalu gak adil sama gue?" keluh Devina ketika ingin menyebrang jalan yang sepi itu. Dia ingin pergi ke mini market terlebih dahulu, untuk membeli beberapa keperluannya yang sudah mulai habis. Namun, Devina dengan pikiran yang sedang sangat berkabut itu langsung menyebrang saja, tanpa memperhatikan jalannya. Perbuatan tak wajar itu sontak membuat beberapa orang yang ada di sekitar jalan itu berteriak, pasalnya terlihat sebuah minibus yang sangat ugal-ugalan di salah satu sisi jalan.

Devira baru saja keluar dari sebuah toko roti yang ada di jajaran ruko dekat SMA Tri Sakti. Gadis itu membawa dua kotak roti ukuran besar yang berisi berbagai macam donat dan juga jajanan pasar untuk dimakan bersama anak-anak panti asuhan yang beberapa minggu belakangan ini sering ia kunjungi ketika sedang suntuk.

Dengan sepatu PDH hitam yang melekat di kakinya, Devira berjalan menuju ke panti asuhan yang letaknya tidak terlalu jauh dari toko roti tersebut. Dia begitu menikmati momen-momen seperti ini, di mana ia bisa merasakan sejuknya semilir angin dan juga merasakan sensasi hangatnya sang surya menerangi alam semesta. Semua yang dilalui oleh Devira, pasti akan selalu ia syukuri. Karena sesungguhnya dengan bersyukur, hidup kita menjadi lebih bahagia dan juga tenang, begitu kata Devira.

Netranya yang dihalangi oleh kacamata berlensa minus itu menangkap sosok seorang gadis yang hendak menyeberang. Awalnya biasa saja, tapi jika diperhatikan lebih lama, cukup janggal. Karena dari raut wajahnya gadis itu terlihat begitu murung dan dia seperti berjalan demgan sebuah beban yang amat berat. Devira melirik ke arah belakangnya untuk melihat apakah ada mobil yang akan melintasi jalan raya itu dan yang benar saja. Ada sebuah minibus tengah menuju ke arah gadis itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Nampaknya si sopir tengah mabuk berat, sampai-sampai ia menjalankan mobilnya dengan ugal-ugalan di jalan raya yang cukup ramai ini.

Mobil itu semakin mendekat. Membuat Devira panik sendiri melihat hal tersebut. Meskipun begitu, Devira langsung berlari menghampiri Devina dan berteriak supaya dia bisa segera menepi.
Tapi, "Awas!"

Semuanya terjadi begitu cepat, sampai-sampai Devira tidak tahu apa yang sedang terjadi selanjutnya.

(*****)

To be continued~

Gimana sama puasanya? Lancar?
Semangat, ya, buat kalian yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan!

Maaf aku lama up-nya. Jangan bosen-bosen buat nungguin aku, ya?

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, follow akun ini atau instagram-ku, dan share cerita Davina juga Devira kepada teman kalian.

Terima kasih karena telah membaca karyaku :)

Palembang, 17 April 2021.
With <3, Anin.

Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang