Dvr|37

251 45 3
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Suasana pagi ini sangat berbeda dari sebelumnya. Langit yang biasanya dengan beraninya menampilkan sang surya yang bersinar terang, kini hanya menampilkan warna abu-abu muda saja, mendung. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Devira untuk pergi ke sebuah mini market demi mendapatkan keperluannya yang sudah habis di rumah. Gadis dengan kacamata tebal itu mengeratkan jaketnya dan memasukkan tangan ke dalam kantung jaket yang ia kenakan. Dingin.

Sampai di mini market, Devira langsung mengambil sebuah keranjang belanja lalu mulai memilih barang-barang yang akan ia beli. Jujur saja, Devira sangat suka dengan kegiatannya saat ini. Tapi, seringkali gadis itu kesusahan untuk mengambil barang yang berada di rak yang paling atas. Seperti saat ini, Devira sedang berusaha keras untuk mengambil pewangi pakaian yang ada di rak paling atas. Hm, nasib-nasib.

Ketika dia sudah mulai lelah, akhirnya ada sebuah tangan yang mengambilkan pewangi tersebut. Devira berbalik dan menatap orang itu dengan senyum yang mengembang.

"Makasi banyak, ya ...," ucap Devira pada cowok itu. David.

David mengernyit bingung, kenapa gadis di depannya ini begitu mirip dengan Davina, mantan pacarnya Raffa yang sudah pergi satu tahun yang lalu. Otak David mulai berpikir dengan sangat keras mengingat cerita-cerita Raffa tentang Davina. Namun, David merasa Raffa belum menceritakan hal ini pada dirinya. Sepertinya Raffa menginginkan kultum dari dirinya lagi, tunggu saja.

"Hey, kenapa? Kok bengong gitu?" kata Devira sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka David.

"Hah? E—em gak apa-apa, kok, lo tadi ngomong apaan?" tanya David kikuk.

"Makasi, ya, udah nolongin aku ambil ini," ucap Devira sembari mengangkat pewanginya, "hm, gimana sebagai ucapan terima kasihku, aku traktir kamu kopi?" sambung Devira seraya sedikit memiringkan kepalanya.

Gotcha. David akhirnya memiliki kesempatan untuk mengetahui siapa gadis yang ada di hadapannya ini. Setahunya Davina memang memiliki kembaran, namun sama sekali tidak mirip dengannya. Tapi, gadis ini sangat mirip dengan Davina? Masih jadi tanda tanya besar dibenaknya.

"Boleh asal lo gak keberatan,"

"Jadi kenalin, nama gue David, lo?" ujar David.

"Aku Devira," kata Devira sambil tersenyum dengan sopan.

"Sorry, ya, Dev, tapi lo mirip banget sama temen gue—"

"Davina, ya?" ucap Devira.

"Lo, kok tau, sih? Jangan-jangan lo kenal sama Davina?" serobot David.

"Aku gak kenal sama Davina. Tapi, hampir semua orang yang kutemui sama seperti kamu," jelas Devira, "mereka panggil aku Davina," sambungnya.

"Lo udah ketemu sama siapa aja emangnya? Raffa?" tanya David.

"Kamu juga kenal sama Raffa?"

David mengangguk, "Iya, kenal banget malahan. Dia sahabat gue," terang David, setelah menyeruput kopinya.

"Ternyata dunia ini kecil banget, ya. Aku bahkan nggak tau Davina itu siapa, tapi sejak pindah ke sini aku malah berteman baik sama teman-temannya Davina." Devira tersenyum tipis ketika mengatakan itu.

"Kalau lo dan Raffa udah ketemu, berarti lo tahu dong kalau Raffa itu adalah mantannya Davina yang pertama dan terakhir?"

"Raffa sempat cerita, cuma aku boleh tahu alasan kenapa Davina bisa meninggal?" tutur Devira.

"Dia meninggal karena gak sengaja tertembak saat mau nyelamatin kembarannya, Devina. Em, lo udah pernah ketemu Devina? Atau keluarganya Davina?" imbuh David.

"Devina, ah iya. Aku udah ketemu sama dia, Kakaknya juga. Ternyata Davina ini sangat baik, ya." Devira menaikkan kecamatanya yang sempat melorot.

"Baik banget, tapi orang-orang terdekatnya termasuk Raffa selalu bikin dia sakit," urai David.

Hening, Devira masih berusaha mencerna semua perkataan yang dilontarkan oleh David. Devira kembali mengambil kopinya untuk diminum dan segera berpamitan pada David, karena mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

"David, aku pamit pulang duluan, ya, kayaknya bentar lagi turun hujan," ujar Devira.

"Gak mau barengan gue aja?" tawar David.

"Aku jalan sendiri aja, lagian rumahku dekat, kok. Makasi, ya, aku duluan."

Devira berlalu sembari membawa sekantung belajaan yang baru saja ia beli tadi. Sebenarnya David cukup bingung dengan semua yang terjadi, tapi ... ah sudahlah.

Suasana di SMA Tri Sakti sangat riuh. Classmeeting sedang berlangsung untuk beberapa hari ke depan. Saat ini seluruh peserta didik berada di lapangan upacara untuk melaksanakan apel pembukaan classmeeting semester ini.

Devina sedang bingung untuk menempatkan dirinya pada barisan mana. Tubuh mungil Devina selalu saja terdorong ke samping kanan dan kiri ketika ia ingin masuk ke salah satu barisan yang ada.

"Minggir dong, kan gue di sini duluan."

"Kamu gak bisa baris, ya! Masa nyempil-nyempil, sih? Cari barisan yang lain sana!"

"Lah kok ke sini sih? Minggir lah."

Bruk! Devina terjatuh akibat dorongan dari salah satu siswi Tri Sakti yang ingin menyalip barisannya.

"Hu, kesian banget deh." Devina menundukan kepalanya, malu. Sangat malu.

Tiba-tiba indra pengelihatan Devina menangkap uluran tangan dari seseorang. Dengan rasa takut bercampur malu, gadis itu mendongakan kepalanya untuk melihat siapa yang ingin membantunya untuk masalah kali ini. Darwin. Cowok yang sempat mencegah Devina untuk melakukan percobaan bunuh diri di ruang musik waktu itu.

"Bangun, lemah banget jadi cewek," sarkas Darwin seraya membantu Devina. Hal yanh dilakukan Darwin itu membuat para netizen Tri Sakti yang ada di sana mulai berbisik-bisik, membuat telinga Darwin menjadi gatal saja.

"Diam lo semua, gak usah ngurusin urusan orang!" tegas Darwin, kemudian berlalu pergi.

"Devina! Lo baik-baik aja, kan?" kata Kanaya dengan napas yang tidak teratur.

"Sori, Dev, kami telat datangnya, Zellyn tadi kebelet boker," ujar Adelia. Adelia, Kanaya, dan Zellyn memang tengah berada di toilet saat bel untuk berkumpul berbunyi. Karena letak toilet tersebut cukup jauh dengan lapangan, alhasil mereka berlari, membuat napas ketiganya tidak beraturan diiringi dengan wajah panik yang kentara.

"Omongan lo, Del," sahut Zellyn tidak terima.

"Udah, gue nggak apa-apa, kok, cuma tadi agak kurang hati-hati aja sedikit." Mendengar penjelasan Devina, tiga serangkai itu mengangguk dengan kompak.

Di saat kepala sekolah mulai membicarakan maksud dan tujuannya, entah ide dari mana Adelia mengajak teman-temannya itu untuk makan es krim setelah pulang sekolah di kedai yang ada di samping SMA Tri Sakti.

"Psttt, pulang sekolah makan es krim, kuy, gue traktir," bisiknya pada Kanaya, Zellyn, dan Devina. Tiga gadis itu mengangguk dan kembali memperhatikan penjelasan kepala sekolah tentang adanya classmeeting kali ini.

(*****)

To be continued~

Holla gaizzz.
Apa kabar, nih? Udah rapotan belum? Gimana puas gak sama hasilnya?

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, follow akun ini atau Instagramku, dan share cerita Davina juga Devira kepada teman kalian.

Terima kasih karena telah membaca karyaku :)

Palembang, 22 Desember 2021.
With <3, Anin.


Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang