Dvr|03

3.8K 393 79
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Kanaya, Zellyn, dan Adelia sedang berada di kantin sekolah sambil menikmati makan siang mereka. Persahabatan mereka yang dulu retak karena Aisyah kini sudah terjalin kembali, bahkan lebih erat dan tentu saja tanpa kehadiran Davina. Tapi, Kanaya bersyukur masih ada kedua perempuan yang duduk di hadapannya itu.

Fokus perhatian Kanaya kini ada pada baksonya. Namun, pada saat yang bersamaan ia terbatuk-batuk karena tersedak kuah hitam yang menjadi tempat baksonya berendam.

Jauh di pojok kantin, Axelio melihat Kanaya yang kelimpungan mencari air minum di sekitarnya. Tapi, sepertinya Zellyn dan juga Adelia tidak memesan minum saat makanan tiba. Alhasil hati Axelio mulai tergerak membawakan sebotol air mineral untuk Kanaya.

“Ini diminum dulu,” ucap Axelio sambil sedikit menepuk pelan punggung Kanaya.

Aksi tersedak Kanaya sudah mulai mereda berkat pertolongan dari sang ketua osis, Axelio. Kanaya menatap Axelio yang duduk tepat di sampingnya dan mengucapkan beri-ribu terima kasih kepada Axelio.

“Lio ... terima kasih.” Bahasa yang dipakai Kanaya saat ini sangatlah baku. Hal itu membuat Axelio terkekeh pelan saat mendengarnya.

“Sama-sama, Naya,” balas Axelio sambil mengacak-acak rambut Kanaya. Membuat pipi Kanaya memunculkan semburat merah jambu.

“Kalau gitu aku duluan, ya,” pamit Axelio pada tiga orang itu.

Selepas Axelio pergi, tawa Adelia dan juga Zellyn memenuhi seluruh atmosfer Kanaya. Sangat malu. Apa lagi bukan hanya kedua sahabatnya saja yang melihat kejadian itu. Tapi, semua orang di kantin juga bersorak ramai.

“Cie, Naya ... kok gak cerita kalau udah dekat sama Lio?” celetuk Zellyn

“Hm ... nanti gue cerita, deh, sekarang kita ke kelas, kuy, udah mau bel masuk.” Kanaya sebenarnya mengelak untuk menceritakan Lio pada dua insan yang ada di depannya ini.

Raffa tidak bisa memfokuskan dirinya pada setiap kalimat yang keluar dari guru senior yang sedang mengajar di kelasnya. Kanaya tahu, pasti Raffa sedang memikirkan Davina. Karena kepergian Davina itu berpengaruh besar pada perubahan sikap Raffa yang sekarang.

Sebenarnya ada kata tidak tega terselip dalam batin Kanaya, saat melihat Raffa dengan kondisi yang seperti itu. Tapi, mengingat perilaku Raffa pada Davina dahulu, membuat Kanaya sedikit marah dan kecewa pada cowok itu.

Semangat? Ah, sudahlah, semangat Raffa sudah pergi, hilang dan lenyap ditelan oleh pahitnya kenyataan. Raffa tahu dirinya ini bodoh. Tapi, ada alasan Raffa melakukan hal yang jauh dari nalar pada Davina. Namun, tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun orang yang ada di sekolah ini.

“Raffasya Lazuardy?!” Suara maut milik guru sejarah itu menggema di kelas XI IPA 1.

“Saya, Bu,” balas Raffa. Otaknya berjalan ke arah hukuman karena tidak memperhatikan penjelasan guru killer itu.

“Kamu niat belajar tidak?! Saya perhatikan kamu hanya diam dengan tatapan kosong.” Kelas yang terkenal akan kejeniusannya itu hanya diam dan memperhatikan interaksi guru dengan salah satu anggota kelas mereka.

“Maaf, Bu.”

“Mikirin apa kamu sampai-sampai tidak memperhatikan penjelasn saya?!” tanya Bu Esi dengan sangat tegas.

“Mikirin Davina tuh, Bu,” celetuk salah satu dari anggota kelas mereka yang benar-benar akhlak less.

Ibu Esi menatap seisi kelas yang tengah ia ajar. Ternyata kehadiran Davina membawa pengaruh di dalam kelas itu. Jujur, Ibu Esi juga merindukan sosok yang banyak bertanya di dalam kelas. Tapi, dia tidak bisa mengelak pada takdir. Sambil tersenyum hangat pada seisi kelas itu, dia menyampaikan nasihatnya.

Hm, Raffa, Davina sudah tenang di alam sana. Ibu tahu kamu sedih dan merasa kehilangan. Tapi, kamu jangan berlarut-larut dalam kesedihan, karena Davina pasti tidaklah suka melihat kamu yang seperti ini. Bukan berarti kamu kehilangan semangat buat menyelesaikan pendidikan kamu. Kami di sini juga sama seperti kamu, Raffa. Sedih. Ibu harap kamu kembali seperti Raffa yang dulu, yang punya semangat buat belajar, bukan hanya Ibu yang mengharapkan itu. Keluargamu, Davina dan kami juga mengharapkan hal yang sama.”

“Betul itu, Fa. Tidak usahlah menyesali semuanya. Lebih baik lo berdoa supaya Davina tenang di sana,” celetuk Beni sambil cengar-cengir sendiri karena sadar telah menjadi pusat perhatian.

Ibu Esi itu terkenal dengan galaknya. Tapi kali ini, dia tidak marah pada saat Beni menyeletuk asal di sela jam belajarnya. Sungguh, pembahasan tentang Davina ini membuat siapa pun ikut terseret pada kesedihan yang sangat sulit dihentikan.

“Baiklah, karena jam pelajaran sudah habis. Ibu akhiri sampai di sini pembelajaran kita. Jumpa lagi di minggu depan, kalian tunggu bel pulang berbunyi sekitar tiga menit lagi. Ibu permisi, assalamualaikum.” Ibu Esi berjalan keluar dari kelas itu sambil mengelap ujung matanya yang sedikit berair.

Waalaikumsalam, Bu.” Mereka semua menjawab salam yang dilontarkan Ibu Esi dengan kompak. Tapi, tidak terlalu bersemangat.

Kanaya hanya termangu, menatap Raffa dengan tatapan pilu. Peperangan dingin sudah berlangsung selama kurang lebih satu tahun, mereka tidak ada niat sedikit pun untuk mengakhiri peperangan itu. Namun, rasa kasihan Kanaya pada Raffa cukup besar dari pada rasa kecewanya.

“Nay? Apa seharusnya kita balik temenan lagi sama Raffa?” tanya Zellyn hati-hati. Dia tidak ingin kejadian setelah pemakaman Davina kembali terulang kembali.

“Iya, Nay. Liat deh, Raffa yang dulunya good boy jadi sad boy. Gue tuh kasihan banget sama dia, Nay,” timpal Adelia.

“Nanti gue pikirin deh. Rencananya gue mau maafin dia dan mengajak dia buat kembali berteman. Tapi, gue rasa ini bukan waktu yang tepat.”

“Tapi, hari ini jadi pergi ke makam Davina, 'kan?” tanya Zellyn dan langsung diangguki oleh dua insan yang ada di hadapannya itu.

Assalamulaikum, Vin.” Entah memang kompak atau hanya kebetulan saja. Mereka bertiga sudah memasuki daerah pemakaman Davina sejak satu menit yang lalu. Sebelum pergi ke sini, mereka menyempatkan untuk membeli satu buket bunga, yang kali ini adalah bunga mawar berwarna merah muda.

“Maaf udah lama gak ke sini, Vin. Kami kemarin sibuk nugas sampai lupa sama lo. Maaf,” lirih Kanaya sambil mengelus batu nisan Davina. Walaupun gadis rapuh itu sudah cukup lama pergi meninggalkannya. Tapi, kenapa rasa tidak rela terus membuncah ketika Kanaya pergi untuk mengunjungi rumah Davina ini.

“Lo baik-baik aja, kan, Vin? Gue kangen banget sama lo,” ucap Adelia sambil menaruh bunga yang mereka bawa.

“Maafin, kami jarang ke sini, ya, Vin. Kami gak maksud buat lupain lo, kok. Lo bakalan tetap ada di hati gue, Naya, dan Adel. Kami kangen banget sama lo, Vin. Boleh, kan kalau kami rindu?” Kanaya sudah menjatuhkan air mata saat Zellyn menyudahi kalimatnya.

“Ternyata benar, ya, kata Dilan  Rindu itu berat banget dan hal itulah yang sedang gue rasain sejak hari pertama lo ninggalin dunia ini, Vin. Gue gak rela kehilangan sahabat gue. Tapi, gue gak bisa menyangkal adanya takdir, Vin.” Tangis Kanaya semakin pecah. Dia memang begitu merindukan sosok penyabar seperti Davina.

Langit sudah mulai mengabu. Kanaya menyudahi tangisannya. Begitu juga dengan Zellyn dan Adel. Mereka bertiga bangkit dari duduk berjongkoknya lalu berpamitan pada sahabatnya itu.

“Kami pulang dulu, Vin. Nanti kami ke sini lagi, buat jenguk lo. Lo bahagia di sana ya. Assalamualaikum.”

(*****)

To be continued~

Ada saran gak nih buat scene apa ke depannya?

Part kali ini full tentang Kanaya, Zellyn, dan Adelia. Gimana suka sama part ini?

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, follow akun ini, dan share cerita Davina juga Devira kepada teman kalian.

Palembang, 15 November 2020.
With <3, Anin.

Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang