Dvr|42

413 46 7
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Makan malam kali ini dihadiri oleh anggota keluarga Brahmantyo secara lengkap, Reinaldo, Ivona, Azka, dan juga Devina. Hal itu merupakan sesuatu yang sangat istimewa bagi Devina, karena sudah beberapa bulan keluarganya tidak seperti ini. Meskipun begitu, tidak ada canda tawa yang menghiasi suasananya, mereka diselimuti dengan kesunyian dan juga rasa gengsi yang tinggi.

Dentingan sendok dan garpu mengisi kekosongan di sana. Mereka semua tampak masih sama, diliputi dengan duka dan juga penyesalan yang tiada habisnya. Kalau Davina ada di samping mereka, pasti dia akan tertawa melihat hal itu. Kenapa penyesalan keluarganya baru datang disaat dia sudah tidak ada di muka bumi ini? Padahal mereka sudah biasa ditinggal pergi oleh Davina.

"Gimana sekolahmu, Devi?" Akhirnya setelah sekian purnama, suara Reinaldo berhasil memecahkan dinding kesunyian ini.

"Baik, Pa," balas Devina sedikit canggung karena sudah lama tidak mengobrol bersama Reinaldo.

Oke, sepertinya percakapan kali ini cukup sampai di situ saja. Setelah Devina mengatakan dua kata itu, Reinaldo hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti.

"Ma, minta minumnya, tolong," pinta Azka pada Ivona yang sedari tadi hanya diam saja.

Ivona menuangkan air minum untuk putranya, kemudian langsung memberikan gelas itu kepada Devina karena Devina lah yang duduk bersebelahan dengan Azka.

"Ini, Bang," kata Devina, membuat Azka mengangguk dan langsung meneguk air tersebut sampai habis.

"Azka sudah selesai."

"Devina juga udah selesai."

"Ayo, Dev, bantu Abang ke kamar," ajak Azka karena dia tahu pasti Devina tidak ingin terjebak di antara suasana dinginnya hubungan Reinaldo dan Ivona.

Masih ingat dengan Ibu Asih dan juga Bapak Ferdi yang sempat menolong Azka saat kecelakaan tempo hari? Saat ini mereka sedang duduk bersantai di ruang keluarga sembari mendengarkan celotehan-celotehan anak bungsu dan kedua kakaknya. Keluarga itu terlihat begitu harmonis, dengan kasih sayang orang tua yang melimpah ruah untuk ketiga anak-anaknya.

"Ih, Mas kok camilan aku diambil, sih! Mba juga, ih gak asik banget!" keluh si bungsu yang baru saja kembali dari dapur untuk mengambil minum dan juga menuruti kehendak Mas, si anak pertama.

"Cuma dikit, kok. Nanti Mas beliin lagi," ujarnya sembari menyaksikan tayangan televisi.

"Udah Mas, Mba, kasian Adeknya. Lagian di dapur juga masih ada, ya, kan, Bu?" lerai Pak Ferdi, namun tidak ada balasan dari Bu Asih, "Bu, kenapa?"

Ibu Asih terperanjat kaget, membuat anak beserta suaminya bingung dengan sikap sang Ibu. Tidak biasanya Asih seperti itu, wanita paruh itu selalu melempar nasihat kepada ketiga anaknya yang sudah beranjak dewasa. Tapi, malam ini dia seperti sedang menyimpan masalah yang sangat besar.

"Hah? Eh copot! Bapak bikin kaget aja," kagetnya sembari mengelus dada.

Pak Ferdi meringis, padahal dirinya sudah berada di samping sang istri dari tadi, bahkan sebelum Ibu Asih datang setelah makan malam.

"Ibu kenapa? Ko melamun terus, kami bertiga buat salah, ya?" tanya Mba, si anak tengah.

"Nggak, kok. Sudah Ibu masuk kamar dulu, ya, mau tidur. Kalian tidurnya jangan malam-malam!" peringat wanita itu.

"Ingat pesan Ibu, Bapak mau susul dulu, siapa tahu Ibu mau cerita."

"Oke, Pak, tenang aja," kompak mereka bertiga.

Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang